Beranda News

SK UMK 2022 Dikecam, Praktisi Hukum Banten Bakal Lakukan Perlawanan

SK UMK 2022 Dikecam, Praktisi Hukum Banten Bakal Lakukan Perlawanan
Dewa Sukma Kelana. Praktisi dan Dosen Hukum Ketenagakerjaan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Painan dan Aktif Juga Sebagai Ketua DPD FSP LEM SPSI Provinsi Banten Dewa Law Firm. Foto Pelitabanten.com (Ist)

TANGERANG, Pelitabanten.com – Penetapan Surat Keputusan (SK) Gubernur tentang upah minimum kabupaten/kota (UMK) tahun 2022 di daerahnya masing-masing, mendapat kecaman dan penolakan dari kalangan praktisi akademisi.

Sebab, SK tersebut mayoritas mengacu kepada (PP) No.36 tahun 2021 yang mengatur tentang kenaikan upah, bahwa keberadaannya menurut konstitusi sudah tidak berlaku sejak adanya putusan Judicial Reviuw (JR) No. 11/2020 oleh Mahkamah Konstitusi.

Praktisi dan Dosen Hukum Ketenagakerjaan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Painan Banten Sukma Kelana mengatakan, sangat wajar jika banyak kalangan mengecam dan SK UMK 2022 karena acuan dasar hukumnya sudah salah.

“Kalau salah berarti ada pelanggaran di dalamnya dan jika ada pelanggaran tentu harus ditegur diingatkan bila perlu tidak usah gengsi merevisi kesalahan tersebut.
Sebagai hampir seluruh Gubernur di dalam menetapkan SK UMK 2022 mengacu kepada PP/36 2021. Pastinya Ini ditertawakan , itu pakar-pakar hukum pemerintah ke mana? Kok dibiarkan apa ikut memberikan masukan yang salah, malulah sama mahasiswa,” ujar Dewa, dalam keterangannya. Minggu, (5/12/2021).

Baca Juga:  Pasca Perbaikan Oleh PUPR Provinsi Banten Jalan Depan Pasar Baros Mulai Lancar

Menurutnya, sudah jelas PP/36 itu merupakan turunan dari UU Cipta (Omnibuslaw) dan UU itu sudah Inkonstitusional sejak putusan JR di MK.

“Jika berpikir logis dan akademis UU Ciptaker dan turunannya sudah batal demi hukum dan tidak dapat dipergunakan lagi apalagi dijadikan acuan dasar hukum,” Dewa.

Dewa menjelaskan, kalau dikaji putusan MK yang mengabulkan untuk sebagian permohonan uji formil. Majelis Hakim Konstitusinya pun telah menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) cacat secara formil dan Mahkamah telah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja Inkonstitusional bersyarat.

“Mengapa cacat formil? Kalau kita baca dalam pertimbangan hukum Hakim Konstitusi, tata cara pembentukan UU Cipta Kerja tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan undang-undang,” katanya.

Kemudian, dalam pembentukan UU Cipta Kerja, terjadi perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan bersama dan Presiden (Pembentukan UU Cipta Kerja) bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang – undangan, di mana mahkamah berpendapat proses pembentukan UU 11/2020 adalah tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan cacat formil.

Baca Juga:  UMK Kabupaten Tangerang 2023 Diusulkan Naik jadi Rp 4.547.255,94

Dewa menguraikan, dalam amar putusan tegas menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan.

“Walaupun di amar putusan yang lain menyatakan UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini, namun MK telah memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen,” ucap Dewa.

Terlebih, MK telah memerintahkan kepada pemerintah untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Baca Juga:  Gubernur WH: Kita Berbagi Peran dalam Pelayanan Dasar

“Jadi jelas, kalau kita simpulkan dari amar putusan itu, UU Cipta Kerja dan turunannya termasuk PP/36 di dalamnya tegas-tegas keberadaanya tidak mencerminkan Pancasila dan UUD 1945 oleh karenanya segala yang terkait didalamnya termasuk SK UMK 2022 jika mengacu PP/36 harus dibatalkan atau direvisi,” imbuhnya.

Jika pembatalan itu tidak dilakukan berarti pemerintah telah mengajarkan dan mencontohkan kesalahan atau pelanggaran yang tentu memprovokasi rakyat terutama buruh atau masyarakat yang dirugikan lainya untuk melakukan perbuatan yang sama.

“Bahkan lebih dahsyat lagi melakukan perlawanan,” pungkas Dewa yang sehari-harinya aktif sebagai ketua DPD FSP LEM SPSI Provinsi Banten dan Dewa Law Firm ini.