Beranda Opini

Politik Hukum Menentukan Sistem Hukum Nasional

Politik Hukum Menentukan Sistem Hukum Nasional
Ilustrasi (herbinisaac/Pixabay)

Pelitabanten.com – Politik hukum di Indonesia menjadi penentu arah kebijakan hukum dan perundang-undangan dalam rangka melakukan pembaruan hukum menuju pada hukum yang dicita-citakan.

Politik hukum di Indonesia sampai saat ini masih menjadi perdebatan di antara ahli, menyangkut letak politik hukum. Apakah letaknya di ilmu hukum atau di ilmu politik, ini masih menjadi perdebatan dan belum ada satu kesatuan pendapat.

Selama ini kita hanya memahami hukum pada bunyi ketentuan norma itu sendiri. Tetapi kita tidak memahami mengapa norma itu dibentuk, apa yang melatarbelakangi suatu norma dan apakah norma itu dibutuhkan oleh masyarakat.

Ada pandangan sejumlah tokoh terkait perdebatan politik hukum. Mereka yang studi hukum tata negara umumnya lebih banyak mempelajari hukum positif. Namun pakar hukum Belinfante mengatakan sebaliknya. Tidak hanya mempelajari hukum positif ketika kita mempelajari ilmu hukum tata negara. Tetapi juga ada faktor lain yang sangat memengaruhi di luar hukum positif. Salah satunya terkait dengan politik hukum. Oleh sebab itu, Belifante meletakkan studi politik hukum adalah bagian dari hukum tata negara.

Politik hukum adalah bagian dari studi hukum tata negara. Menurut Mahfud, ketika kita mempelajari politik, hal itu studi tentang legal policy-nya. Garis resmi dari negara tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak diberlakukan. Kemudian saat mempelajari politik hukum akan dipahami pergulatan politik yang melahirkan hukum dengan asumsi bahwa hukum adalah produk politik. Di sisi lain, dalam studi politik hukum mencakup implementasi terkait bagaimana bekerjanya hukum di lapangan.

Dari berbagai pandangan tersebut, ada satu pandangan yang menarik yaitu pandangan dari tokoh nasional Mochtar Kusumaatmadja. Pandangan ini sudah cukup lama tapi sangat relevan untuk didiskusikan. Kaitannya dengan hukum, dalam hal ini pembentukan undang-undang.

Banyak orang hanya bicara tentang hukum secara normatif, kadang-kadang terbentur pada sisi yang tidak bisa paham sekali. Karena ternyata ada beberapa faktor yang sangat memengaruhi bagaimana kemudian hukum itu bisa terbentuk.

pakar hukum Satjipto Rahardjo, melihat dari aspek sosiologi hukum. Satjipto sangat menekankan bahwa dalam studi hukum tidak bisa berpihak pada ketentuan normatif saja. Kalau hanya memahami ketentuan normatif, tidak bisa memahami aspek-aspek lain yang bisa memberikan makna bagaimana pembentukan hukum seharusnya dilakukan.Sehingga perlu dipahami aspek sosiologis dalam pembentukan hukum.

Kondisi hukum di Indonesia saat ini. Sampai saat ini masih ada kerisauan bagaimana sebetulnya pembentukan hukum yang dibutuhkan masyarakat kita. Di situlah kemudian dibutuhkan politik hukum yang bisa dikatakan sebagai sebuah sarana, alat yang bisa kita gunakan untuk menciptakan sebuah sistem hukum nasional yang dikehendaki, untuk kemudian memenuhi bagaimana cita hukum kita.

Baca Juga:  Mengenal Dr. Suwaib Amiruddin Seorang Akademisi Sarat Pengabdian

Hingga saat ini terdapat sekitar 400 produk perundang-undangan di Indonesia dari zaman kolonial Belanda dan hingga sekarang masih diberlakukan. Misalnya masyarakat Indonesia masih dihadapkan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) produk dari Belanda yang sudah dilakukan pembaruan sedemikian rupa. Namun ironisnya, ketentuan pidana itu saat ini banyak sekali terjemahannya, yang belum ada satu terjemahan resmi soal itu. Tak jarang ada perbedaan antara terjemahan satu dengan lainnya. Belum lagi bermacam produk perundang-undangan, misalnya tentang izin gangguan, sampai sekarang masih belum dicabut. Kenyataan-kenyataan inilah perlu ada arah kebijakan, salah satunya dengan mendesain sedemikian rupa politik hukum yang diterapkan untuk menyelesaikan berbagai macam persoalan.

Oleh karena itulah kemudian, bagaimana kita mendesain pembangunan hukum, kita dihadapkan pada satu kondisi yang tidak bisa kita nafikan bersama bahwa hukum itu produk politik. Sebagai produk politik, mau tidak mau, pembentukan hukum tidak bisa dipahami hanya perspektif normatif saja.

Di situ kemudian muncul pergulatan yang sedemikian rupa. Apalagi kemudian dari sisi pemahaman yang berkembang, ketika pembentukan hukum pada rezim yang otoriter, coraknya represif. Ketika pembentukan hukum pada rezim yang demokratis, coraknya responsif. Tapi ini bukan menjadi sesuatu yang mutlak.
Terkait proses pembentukan hukum di Indonesia, tidak bisa melepaskan dengan lembaga politik yang berperan penting dalam menentukan pembentukan hukum.

Ketika bicara lembaga politik, tidak bisa dilepaskan dari pilihan untuk menentukan hal yang akan diatur sebagai bagian dari ketentuan hukum. Pergulatan-pergulatan terkait pilihan yang akan diambil dalam proses pembentukan hukum, sangat menentukan.

Misalnya ada anggota DPR yang mengusulkan adanya UU Permusikan yang memunculkan perdebatan sedemikian rupa, ini menjadi hal menarik. Karena ini usul dari konstituen, apakah mewakili kepentingan masyarakat secara mayoritas, atau hanya kelompok-kelompok tertentu. Sementara substansi dari usulan undang-undang itu sebetulnya lebih banyak pada persoalan hak cipta. Padahal kita sudah memiliki UU Hak Cipta.

Sistem hukum nasional merupakan sistem hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya serta saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan berbangsa, bernegara, bermasyarakat. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Baca Juga:  Akademisi UNMA: Ada Tiga Syarat Negara Tidak Bubar

Dalam sistem hukum nasional banyak keterkaitannya dengan hukum yang berlaku, tidak hanya hukum tertulis tetapi juga hukum tidak tertulis. Contohnya, pengelolaan sumber daya alam yang didorong untuk menjadi suatu undang-undang. Begitu banyak masyarakat yang ingin terlibat di dalamnya. Begitu banyak Non Government Organization (NGO) yang ingin berperan serta untuk bisa mengawal terkait undang-undang itu.

Tapi harus diingat bahwa rancangan undang-undang itu ketika kemudian akan didorong menjadi sebuah prioritas, sangat berkaitan erat dengan hak-hak . Hal itu pelik sekali persoalannya. Induknya ada pada undang-undang yang mana? Kalau kita bicara pengelolaan sumber daya alam, ada sekian banyak undang-undang sektoral yang melingkupinya. Jadi hal-hal semacam ini memang harus diselesaikan.

Sehingga dengan Undang-Undang Pengelolaan Sumber Daya Alam bisa menyelesaikan berbagai macam persoalan.Terdapat fakta yang tak bisa dihindari bahwa saat ini ada beberapa produk undang-undang yang ‘sumbunya’ pendek. Artinya, produk undang-undang tidak bisa menjangkau untuk jangka waktu yang dibutuhkan dan bisa menyelesaikan persoalan, namun menimbulkan persoalan baru.

Ini bisa terjadi karena saat proses pembentukannya tidak melibatkan stakeholders terkait, atau pelibatannya sangat formal. Selain itu ada fakta ‘‘ peraturan perundang-undangan yang belum ditangani dengan baik. Sehingga harus memangkas regulasi yang tidak harus dilanjutkan, mana yang harus diubah. Karena memang tabiat birokrasi yang rajin ingin membentuk satu produk hukum, khususnya peraturan perundang-undangan.

Bicara sejarah bangsa Indonesia membangun sistem hukum nasional. Adanya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan turunannya dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) maupun pembangunan tahunan.

GBHN bertujuan melakukan pembaruan hukum, dalam rangka mengganti produk hukum kolonial. Dalam GBHN Tahun 1960, belum ada arah kebijakan pembangunan bidang hukum dan fokus pada bidang ekonomi. Dalam GBHN Tahun 1973, pembangunan hukum menjadi bidang tersendiri, lalu dirumuskan dengan arah kebijakan untuk peningkatan, penyempurnaan pembinaan hukum nasional yang antara lain melakukan pembaruan. Dalam GBHN Tahun 1978 masih mengulangi GBHN Tahun 1973.

Penambahannya terkait membentuk perundang-undangan untuk mengatur kewajiban dan hak asasi manusia, pembentukan UU PTUN, serta membangun hukum untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat.

Sementara dalam GBHN menyebutkan program peningkatan prasarana dan sarana dalam pembangunan hukum, penekanannya pada penyuluhan hukum.

Di Indonesia dikenal ada beberapa sistem hukum yang berlaku, yaitu sistem hukum adat, sistem hukum Islam, dan sistem hukum nasional. Sistem hukum nasional dan sistem hukum Indonesia adalah dua hal yang berbeda.

Baca Juga:  KH Andrian Mafatihullah Karim: Jangan Takuti Kematian, Bekali Hidup dengan Amal Kebaikan dan Ibadah

Sistem hukum nasional berarti sistem hukum yang diberlakukan oleh negara (state law), sedangkan sistem hukum Indonesia merefleksikan keanekaragaman hukum yang hidup dalam masyarakat. Sistem hukum nasional berasal dari dua istilah yaitu sistem dan hukum nasional.

Pengertian sistem telah dijelaskan di bagian terdahulu. Sedangkan hukum nasional adalah hukum atau peraturan perundang-undangan yang didasarkan kepada landasan ideologi dan konstitusional negara, yaitu dan UUD 1945 atau hukum yang dibangun di atas kreativitas atau aktivitas yang didasarkan atas cita rasa dan rekayasa bangsa sendiri.

Hukum nasional tidak lain adalah sistem hukum yang bersumber dari nilai-nilai budaya bangsa yang sudah lama ada dan berkembang sekarang. Sistem hukum nasional adalah sebuah sistem hukum (meliputi materiil dan formil; pokok dan sektoral) yang dibangun berdasarkan ideologi negara Pancasila, UUD 1945 dan dapat juga bersumber pada hukum lain asal tidak bertentangan dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945, serta berlaku di seluruh Indonesia.

Sistem hukum nasional seperti yang diutarakan di atas tersebut masih belum dapat terwujud sepenuhnya di Indonesia. Masih begitu banyak peraturan perundang-undangan yang saling tumpang tindih dan bertentangan satu sama lain. Hukum sebagai suatu sistem tidak menghendaki adanya peraturan yang saling tumpah tindih atau bertentangan. Di Indonesia  masih banyak peraturan perundang-undangan yang tidak mencerminkan nilai-nilai Pancasila maupun UUD 1945 sehingga dalam penerapannya tidak memberikan rasa keadilan bagi rakyat dan tidak adanya kepastian hukum.

Ketika berbicara mengenai sistem hukum, maka ada tiga komponen penting yang juga perlu dilihat, yaitu legal structure, legal substance, dan legal culture.  Pembangunan sistem hukum yang dilakukan di Indonesia masih dominan secara substansi saja, namun struktur dan budayanya masih kurang mendapatkan perhatian. Indonesia belum memiliki sistem hukum nasional yang representatif. Untuk dapat mewujudkan sistem hukum nasional yang berlandaskan keadilan maka perlu dikembangkan budaya hukum di seluruh lapisan mayarakat. Kemudian mengakui dan menghormati hukum adat dan hukum agama serta memperbaharui undang-undang warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif.

Perilaku aparat penegak hukum juga perlu diperbaiki sehingga tidak hanya hukumnya saja yang baik tapi dalam implementasinya pun dapat berjalan dengan baik karena dukungan aparat penegak hukum yang baik pula. Hal-hal tersebut perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya pula oleh pemerintah dan masyarakat.

Aji Setiawan, STPenulis: (Mantan Ketua PWI- Reformasi Korda Jogjakarta)