Beranda Opini

Ekstensifikasi Cukai “Pajak Dosa” Minuman Berpemanis

Ekstensifikasi Cukai “Pajak Dosa” Minuman Berpemanis
Ilustrasi (lovepetforever/Pixabay)

Pelitabanten.com – Menteri Keuangan Republik , dalam Rapat Kerja bersama  Komisi XI DPR RI pada hari Rabu, 27 Januari 2021yang lalu  mengutarakan rencana untuk menjadikan minuman berpemanis sebagai salah satu objek cukai. Sri Mulyani mengatakan bahwa rencana ekstensifikasi objek cukai tersebut dilakukan dalam rangka memperluas basis cukai Indonesia yang apabila dibandingkan dengan negara lain masih terlampau kecil.

“Untuk cukai, akan kami lakukan ekstensifikasi dengan menambahkan minuman berpemanis dan beberapa jenis barang lain sebagai objek cukai baru. Hal ini dilakukan untuk menekan konsumsinya yang dapat berdampak negatif bagi kesehatan dan sekaligus untuk ekspansi basis cukai kita. Di luar negeri objek cukainya bisa 7 sampai 10 objek. Jika dibandingkan maka basis cukai kita masih terlalu kecil” ujar Sri Mulyani sebagaimana dilansir dari kanal Komisi XI DPR RI. Selain itu Sri Mulyani juga mengemukakan bahwa saat ini basis cukai yang paling signifikan hanyalah Cukai Hasil Tembakau (CHT).

Sejauh ini objek cukai di Indonesia hanya terdiri dari Etil Alkohol (EA), Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA) dan Hasil Tembakau (HT). Sejak tahun lalu plastik juga telah disetujui untuk menjadi objek cukai, namun penerapannya baru direncanakan tahun 2021 dikarenakan adanya pandemi.

Wacana menjadikan “si manis” sebagai objek cukai sebenarnya bukan hal baru. Sejak tahun lalu, pemerintah pun sempat mengemukakan ide tersebut yang disambut dengan pro kontra dari beberapa pihak.

Pihak yang mendukung pengenaan cukai melihat dari sudut pandang kesehatan. Para pendukung percaya bahwa dengan dikenakannya cukai maka konsumsi atas minuman berpemanis seperti teh kemasan, kopi kemasan, minuman bersoda, minuman berenergi dan sejenisnya mampu ditekan. Minuman berpemanis dinilai menjadi salah satu penyebab tingginya angka diabetes. Sedangkan pihak penolak umumnya berasal dari kalangan pengusaha, khawatir pengenaan cukai akan membuat harga jual menjadi lebih mahal. Harga yang semakin mahal membuat masyarakat membeli lebih sedikit. Bila terus menerus seperti itu, industri minuman kemasan akan kesulitan terutama jika dilakukan saat kondisi ekonomi sedang bergejolak.

Baca Juga:  Perkuat Sinergitas, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Banten Sambangi Sekretariat PWI

Sebelum lebih jauh membahas mengenai topik ini, ada baiknya kita berkenalan sedikit dengan cukai. Cukai merupakan pungutan negara yang dikenakan terhadap barang yang memiliki sifat dan karakteristik khusus. Barang yang dikenakan cukai disebut objek cukai. Sifat dan karakteristik khusus objek cukai telah diatur dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 2007 yaitu konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat ataupun lingkungan hidup dan pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara dalam rangka keadilan dan keseimbangan.

Sifat dan karakteristik objek cukai inilah yang membuat cukai dikenal juga sebagai “sin tax” atau pajak dosa. Dalam studi ekonomi disebut  “Pigouvian Tax” yaitu pajak yang dikenakan untuk mengatasi eksternalitas negatif alias sebuah tools untuk menginternalisasikan eksternalitas.

Dari definisi, sifat, serta karakteristik cukai maka dapat disimpulkan bahwa sebenarnya cukai adalah pajak atas konsumsi dan tujuan utama pengenaannya yaitu untuk menekan konsumsi atas barang kena cukai yang dinilai memberikan eksternalitas negatif. Sesungguhnya ada sekali jenis barang dalam keseharian kita yang berpeluang menjadi objek cukai, misalnya Air Conditioner (AC), lemari pendingin dan bahan bakar sebab penggunaannya dapat merusak lingkungan.

Kembali pada topik mengenai minuman berpemanis, kandungan zat pewarna dan  pemanis buatan di dalam minuman dipercaya menjadi salah satu pemicu penyakit diabetes. Penyakit diabetes dapat dialami oleh seluruh golongan usia. Komplikasi yang ditimbulkan cukup parah, diantaranya menyebabkan kerusakan pada jantung, pembuluh darah, kebutaan dan gagal ginjal.

Baca Juga:  WHO: Sebaran Covid-19 di Banten Menurun Drastis

World Health Organization () bahkan menyarankan negara-negara di dunia untuk mengenakan pajak terhadap minuman berpemanis. Menurut hasil penelitian WHO pada tahun 2017, sekaleng minuman ringan berpemanis dapat mengandung sekitar 10 sendok teh gula. Jumlah tersebut hampir setara dengan batas konsumsi gula yang disarankan dalam sehari untuk orang dewasa, yakni 12 sendok teh. Penelitian juga menunjukkan bahwa orang yang mengonsumsi 1 sampai 2 kaleng minuman ringan berpemanis setiap hari memiliki risiko 26% lebih tinggi untuk mengalami penyakit diabetes.

Pada tahun 2019, International Diabetes Federation (IDF) ATLAS menobatkan Indonesia sebagai peringkat ke-7 negara dengan prevalensi diabetes terbesar di dunia untuk golongan penduduk dengan usia 20-79 tahun. Jumlah penderita diabetes ditaksir mencapai 10,7 juta dan akan terus meningkat menjadi 13,7 juta pada tahun 2030. Hal tersebut menjadikan Indonesia satu-satunya negara di Asia Tenggara yang masuk dalam daftar 10 besar.

Tingginya jumlah penderita diabetes dan berbagai komplikasinya juga dapat menyebabkan kenaikan kesehatan. Apabila penderita menggunakan BPJS, maka tanggungan BPJS pun akan meningkat. Tentunya penyelesaian masalah ini membutuhkan campur tangan dari pemerintah.

Penulis pada dasarnya setuju untuk menjadikan minuman ringan berpemanis sebagai objek cukai. Berdasarkan pemaparan, minuman berpemanis telah memenuhi sifat dan karakteristik sebagai objek cukai. Pengenaan cukai diharapkan mampu menekan konsumsi sehingga menurunkan dampak-dampak negatif akibat konsumsi minuman berpemanis.

Baca Juga:  Dewasa Diusia 30 Tahun, Pesan Banjir atau Genangan Biasa Disebut Pemkot Masih Jadi PR

Namun,  pemerintah perlu mengingat kembali bahwa tujuan utama pengenaan cukai yaitu untuk menekan konsumsi. Studi mengenai elastisitas permintaan minuman berpemanis perlu dilakukan untuk memprediksi keefektifan pengenaan cukai. Perincian mengenai minuman berpemanis yang akan dikenakan cukai serta besaran tarif yang dikenakan harus jelas pertimbangannya dan dilakukan dengan matang.

Selain itu, sudut pandang industri minuman ringan pun perlu diperhatikan. Sebagaimana pengenaan cukai dan minuman beralkohol yang memiliki pengecualian-pengecualian tertentu untuk melindungi industri dan penyediaan lapangan kerja, pengenaan cukai terhadap minuman ringan pun perlu mempertimbangkan faktor-faktor tersebut. Dengan pertimbangan yang bijaksana, diharapkan industri masih bisa berlanjut tetapi konsumsinya tetap terkendali. Lebih baik lagi apabila penerimaan cukai yang nantinya diperoleh digunakan untuk meningkatkan fasilitas dan layanan kesehatan, serta melakukan upaya-upaya untuk menyadarkan masyarakat mengenai pentingnya pola hidup sehat.

Sumber Data:

  • Kanal Youtube : Komisi XI DPR RI Channel. “Live Streaming – Komisi XI DPR RI Rapat Kerja dengan Menteri Keuangan RI”. https://www.youtube.com/watch?v=btM-X0_zhao, diakses pada 30 Januari 2021
  • Wikipedia.”Pajak Pigovian”. https://id.wikipedia.org/wiki/Pajak_Pigovian, diakses pada 30 Januari 2021
  •  World Health Organization.”Taxes on Sugary Drink : Why Do It?”.2017. https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/260253/WHO-NMH-PND-16.5Rev.1-eng.pdf, diakses pada 30 Januari 2021
  • World Health Organization .”Diabetes”.https://www.who.int/health-topics/diabetes#tab=tab_1, diakses pada 30 Januari 2021
  • IDF Diabetes ATLAS. “Demographic and Geographic Outline th Edition 2019”. , diakses pada 30 Januari 2021
  • Undang Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.

Penulis: Devi Kartika Simorangkir Mahasiswi program Diploma III Jurusan Akuntansi di Politeknik Keuangan Negara (PKN) Sekolah Tinggi Akuntansi Negara ()