Beranda Opini

Growth Mindset Bagi Guru Dalam Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ)

Growth Mindset Bagi Guru Dalam Pembelajaran Jarak Jauh
ILUSTRASI (Foto: Alexandra_Koch/Pixabay)

Pelitabanten.com – Sejak ditetapkannya pandemi Covid 19 dihampir seluruh negara di dunia banyak hal baru dalam kehidupan   mulai dari lock down, PSBB, karantina lokal,  new normal hingga terakhir dan . Mengingat penyebar  virus  Covid 19 yang sangat cepat dan masif memaksa Pemerintah mengambil beberapa kebijakan . hampir semua sektor kehidupan  terdampak secara signifikan . Salah satunya adalah sektor pendidikan. Berbagai langkah sudah diambil oleh Pemerintah mulai tingkat pusat sampai ke pemerintah daerah dalam bentuk pembelajaran jarak jauh () yang dalam penerapannya ada beberapa istilah antara lain Belajar Dari Rumah(BDR), , tatap maya dan lain sebagainya, yang intinya adalah pembelajaran dilakukan dari jarak jauh, tidak tatap muka secara langsung.

Kemendikbud selaku perumus kebijakan pemerintah dibidang pendidikan sudah mempelajari semua fenomena dan dinamika di masyarakat selama pandemi dan sudah melakukan berbagai kajian bersama ahli dan praktisi hingga survey ke pemerintah daerah serta yang paling penting membahas bersama semua stake holder terkait yang puncaknya melahirkan SKB 4 Menteri (Mendikbud, Menag, Menkes dan Mendagri) pada tanggal 19 Juni 2020 dimana pembelajaran tatap muka hanya boleh dilaksanakan secara bertahap didaerah zona hijau berdasarkan rekomendasi Gugus Tugas, lain dari itu tidak diperkenankan ada tatap muka dan Pemerintah setempat diberi kewenangan untuk menentukan metode PJJ yang akan digunakan sesuai dengan kondisi dan kemampuan daerah masing masing. Sempat ada harapan bahwa Tahun pelajaran baru 2021/2022 kita akan melaksanakan pembelajrana tatap muka, namun  ternyata perkembangan virius covid 19 melaju dengan cepat, sehingga beberapa sekolah yang sudah uji coba pembelajaran tatap mukapun dianulir dan kembali pada pembelajaran jarak jauh.

Perubahan yang signifikan dan mendadak membuat banyak sekali lembaga pendidikan mengalami tantangan dalam mengadopsi ke proses belajar mengajar dengan sepenuhnya. Sekarang setelah lebih dari satu tahun sejak metode ini diterapkan , para siswa sebagian besar sudah merasakan  kejenuhan. Mereka merasa mengalami tekanan yang tinggi untuk mengikuti pelajaran. Siswa merasa terbebani tugas-tugas yang diberikan oleh semua guru yang mengajar di kelasnya. Sekitar 100 siswa yang penulis tanya hampir memberikan jawaban yang sama, siswa mengtakan mereka sudah jenuh, dengan alasan banyaknya tugas, tidak bisa bergaul dengan temannya, tidak bisa refreshing dan lain sebaginya. Sistem PJJ memang memerlukan tingkat konsentrasi dan yang besar yang tidak selalu bisa dipertahankan oleh  siswa yang masih muda. Banyak dari mereka masih kesulitan membagi waktu antara tugas sekolah dan waktu rekreasi. Akibatnya tugas sekolah seringkali memakan waktu lebih banyak sehingga tingkat stres mereka semakin melonjak karena kehilangan waktu senggang.

Baca Juga:  6 Cara Belanja Perabotan Rumah Tanpa Merusak Kesehatan Finansial

Kondisi seperti ini menjadi tantangan bagi guru, sebagai ujung tombak pendidikan guru harus mampu meningkatkan kompetensi dan karakternya. Guru di era abad 21 fungsinya sebagai motivator dan inspirator yaitu guru dituntut untuk cerdas, inovatif, kreatif, jujur, percaya diri mandiri dan bertaqwa kepada Tuhan YME. Namun sayangnya dalam menghadapi  situasi sekarang ini sebagin besar guru masih  mempertahankan pola pikir lama yang disebud Fix mindset. Mindset yang dimaksud disini adalah kumpulan keyakinan atau cara berpikir yang akan menentukan reaksi dan pemaknaan seseorang terhadap suatu kejadian, sedang yang dimaksud fix mindset adalah pola pikir yang meyakini bahwa kualitas dasar diri, seperti intelegensi atau bakat, bersifat menetap. Seseorang dengan fix mindset menjadikan hasil akhir yang bagus sebagai ukuran keberhasilan yang menggambarkan identitas dirinya. Mereka memiliki keyakinan bahwa keterampilan dan keahlian bersifat bawaan serta bersifat menetap atau tidak bisa diubah. Oleh sebab itu, orang dengan fix mindset tidak suka mengalami kegagalan. Kegagalan dalam mencapai hasil yang bagus dianggap sebagai konfirmasi atas kapabilitasnya. Kesalahan dan kegagalan, menurut mereka, menunjukkan ketidakmampuan mereka. Hal tersebut menyebabkan orang dengan fix mindset cenderung menghindari tantangan yang menurut mereka memberi peluang terjadinya kegagalan. Oleh sebab itu, mereka lebih suka bermain di area zona nyaman. Contohnya guru akan menilai temannya yang mampu mengembangkan berbagai model pembelajaran dengan mengatakan mereka memang ahli di IT, mereka memang punya  kemampuan di IT sedang saya tidak, bakat saya ya begini, maka ini yang saya laksanakan. Toh selama ini siswa saya diam tidak ada yang , mereka sudah nyaman dengan kebiasaan yang dilakukan. Guru dengan fix mindset juga memandang upaya pengembangan diri adalah hal yang sia-sia, dan cenderung menganggap kritik atau masukan sebagai sebuah cara untuk menyerang pribadi mereka.

Baca Juga:  Langkah Pemerintah Mengoptimalkan Pendidikan Saat Pandemi Dan Manfaatnya Dari Sisi Ekonomi

Untuk mengatasi masalah yang dihadapi pada pembelajaran saat ini pola pikir seperti diatas harus ditinggalkan, Guru harus berani Berubah, guru harus berani meninggalkan fix mindset dan beralih ke growth mindset.  Dalam pola pikir ini, orang percaya bahwa kecerdasan dan bakat dapat ditingkatkan melalui usaha dan pembelajaran. Seseorang dengan growth mindset percaya bahwa kemampuan mereka dapat dikembangkan melalui dedikasi, keras, dan umpan balik dari orang lain. Mereka juga lebih menghargai perbaikan proses daripada semata-mata hasil akhir yang baik. Pola pikir ini membuat seseorang yang memiliki growth mindset lebih terbuka dengan tantangan. Mereka tidak melihat tantangan sebagai sesuatu yang mengancam, tetapi mereka justru melihat tantangan sebagai kesempatan untuk berkembang. Oleh sebab itu mereka lebih berani mencoba hal-hal baru di luar zona nyaman mereka. Tentu saja setiap tantangan mengandung risiko untuk gagal, namun orang dengan growth mindset tidak takut mengalami kegagalan atau membuat kesalahan karena mereka merasa mendapatkan kesempatan belajar dari kesalahan dan kegagalan tersebut. Mengacu pembelajaran tersebut mereka tidak segan untuk berupaya keras, mencari strategi yang tepat, mencari umpan balik dari orang lain, serta belajar dari keberhasilan orang lain untuk memperbaiki dan meningkatkan kapabilitas mereka.

Psikolog Dr. Carol Dweck dari Stanford University adalah orang pertama yang menjelaskan Growth mindset. Dalam penelitiannya yang inovatif, Dweck menyelidiki mengapa beberapa orang gagal dan yang lain berhasil. Dalam sebuah penelitian , siswa sekolah menengah ditantang dengan teka-teki yang berkisar dari yang mudah hingga yang sulit. Sangat mengejutkan para , beberapa siswa menerima kegagalan dan memperlakukannya sebagai pengalaman belajar, dan sikap positif inilah yang kemudian Dweck ciptakan sebagai Growth Mindset. Penelitian Dweck juga menemukan, bertentangan dengan pendapat umum, bahwa lebih bermanfaat untuk tidak memuji bakat atau kemampuan alami tetapi memuji prosesnya. Secara khusus, upaya, strategi, ketekunan, dan ketahanan harus dihargai. Proses ini memainkan peran utama dalam memberikan umpan balik yang konstruktif dan menciptakan hubungan siswa-guru yang positif.

Dalam situasi saat ini sangat penting bagi guru untuk mengembangkan growth mindset dalam dirinya. Langkah yang bisa ditempuh adalah, pertama: dengan memahami bahwa otak kita dibangun untuk tumbuh dan belajar. Dengan menantang diri sendiri dengan pengalaman baru, guru dapat membentuk atau memperkuat koneksi saraf untuk ‘memasang ulang’ otak yang pada gilirannya, dapat membuat guru menjadi  lebih pintar, kedua: cobalah untuk mengubah pemikiran seperti ‘Saya tidak bisa melakukan ini’, menjadi ‘Saya bisa melakukan ini jika saya terus berlatih’, Ketiga: hargai proses dan upaya yang dilakukan siswa, tidak hanya berorientasi pada hasil akhir, keempat: cari umpan balik tentang pekerjaan. ketika siswa diberikan umpan balik progresif tentang apa yang mereka lakukan dengan baik dan di mana mereka dapat meningkatkan, itu menciptakan motivasi untuk terus maju. Umpan balik juga dikaitkan dengan respons yang menyenangkan dan meningkatkan pola pikir pertumbuhan, kelima: menjadi cukup berani untuk meninggalkan zona nyaman guru dapat membantu menumbuhkan pola pikir yang berkembang. Saat menghadapi tantangan, cobalah untuk memilih opsi yang lebih sulit yang memungkinkan untuk berkembang, keenam: terima kegagalan sebagai sebuah proses. Kegagalan, kemunduran, dan kebingungan awal adalah bagian dari proses pembelajaran. Saat mencoba sesuatu yang baru, lihatlah ‘kegagalan’ sesekali sebagai kesempatan belajar yang positif, coba nikmati proses penemuan di sepanjang jalan.

Baca Juga:  Berlakukan PJJ, Wali Kota Tangerang: Keselamatan Anak Menjadi Prioritas

Pola pikir ini memiliki efek positif pada motivasi dan kinerja akademik pada siswa. Bukti terbatas dari ilmu saraf menunjukkan otak orang-orang dengan growth mindset lebih aktif daripada mereka yang memiliki fix mindset terutama di bidang yang terkait dengan koreksi kesalahan dan pembelajaran. Manfaat lain dari growth mindset adalah mengurangi kelelahan, lebih sedikit masalah psikologis, seperti depresi dan kecemasan, dan lebih sedikit masalah yang berksitsn dengsn perilaku. Pengembangan pola piker ini diharapkan mampu mengatasi maslah-masalah pada pembelajaran khususnya pembelajaran jauh saat ini. Untuk itu sangat penting bagi guru untuk selalu mengembangkan growth mindset. Jangan sampai siswanya sudah growth mindset tetapi gurunya masih mempertahankan find mindset, kalau hal ini terjadi tercorenglah dunia pendidikan kita.

Penulis:
Dra. Sovia Isniati, M.Pd (Guru SMAN 1 Kretek Bantul)
Drs. H. Priyono, M.Si (Dosen dan Wakil Dekan I Fakultas Geografi UMS)