Beranda Budaya

Ambisi Yang Tak Pernah Pudar

Ambisi Yang Tak Pernah Pudar

Pelitabanten.com – Pengalamanku di masa yang penuh dengan emosi, motivasi dan . Sebab ibuku mendidik menjadi anak yang pintar seperti dirinya, ia saat ini menjadi guru salah satu sekolah . Walaupun aku merasa tertekan waktu itu.

Pada hari pertamaku sekolah, Ibu menuntutku untuk menjadi rangking satu di kelas. Itu membuatku menjadi frustrasi, namun jika aku berhasil itu akan membuat ibuku menjadi bahagia.

Hampir setiap pulang sekolah aku kembali untuk belajar. Terkadang aku iri dengan teman-temanku. Aku melihat teman-temanku sepulang sekolah ada yang langsung nongkrong dan bercanda tawa bersama teman-teman.

Tetapi, aku dalam kondisi ibu menuntutku menjadi nomor satu, mau tidak mau aku harus menuruti kemauan Ibu.

Ketika memasuki Akhir, aku kerahkan seluruh tenaga dan pikiran untuk mendapatkan rangking satu.  Alhasil pengumuman berkata lain, ternyata aku tidak berada di urutan pertama.

Baca Juga:  DPC PDI Perjuangan Kabupaten Tangerang Gelar Halal Bihalal

Saat aku bahwa aku bukan di rangking satu, saat itu juga aku benar-benar depresi dan merasa gagal di dunia ini.

Sesampainya di . Aku menangis dan ibuku belum tahu bahwa aku tidak masuk ke rangking satu.

Kemudian, aku menulis di secarik kertas yang berisi, aku benci kekalahan, aku benci ketika aku tak bisa membahagiakan ibu, aku benci semua yang menyakitiku, aku benci ketika segala apa yang kuusahakan tak dihargai. Aku akan lebih benci ketika ambisi telah membunuhku sesakit ini. Ibu maafin aku, kalo aku ga bisa menuhin harapan ibu soal menjadi yang nomor satu, Awal adalah Awal, aku ga bisa jadi orang lain, selain menjadi diri sendiri. Aku ga bisa menjadi ibu. Aku udah cape dengan semua ini bu. Maafin aku ya bu.

Baca Juga:  Pencak Silat Setia Hati Terate Cabang Tangerang Mengadakan Pendadaran Kenaikan Tingkat

Keesokan harinya aku bangun kesiangan sebab terlalut dalam kesedihan sampai aku ketiduran, herannya ibu tidak membangunkanku, mungkin ibu telah membaca kertas yang kutulis semalam, sampai aku tertidur. Mungkin juga ibu membiarkanku untuk istirahat agar aku merasa lebih tenang.

Kemudian aku , dan siap-siap berangkat ke sekolah. Sesampainya di sekolah aku terlambat, dan guru matematika menyuruhku untuk menunggu hingga pelajarannya .

Tiga puluh menit berlalu, kemudian aku disuruh oleh temanku bernama Anton untuk masuk ke dalam kelas dan ternyata teman-teman kelasku merencanakan sesuatu untukku.

Sampai akhirnya aku menyadari bahwa hari itu adalah hari ulang tahunku. Tepat pada 19 September 16 tahun yang lalu aku dilahirkan ke dunia ini. Dengan mimpi yang sangat besar dan ambisi pudar.

Dengan ibu yang berharap bahwa anaknya kelak bakal menjadi anak yang sukses, anak yang pintar, persis seperti ibunya. Aku sadar bahwa kesibukan telah menjerumuskanku ke dalam ilusi, sesuatu yang indah namun tak bisa kugapai, seperti fatamorgana.

Baca Juga:  Jelang Hari Kartini, Rafe’i Ali Institute Gelar ‘Ngaos Buku’ Panggil Aku Kartini Saja Karya Pramoedya Ananta Toer

Aku baru sadar bahwa ada orang-orang di sekitarku yang seharusnya kuajak tertawa, namun aku tak bisa. Ada orang-orang di sekitarku yang seharusnya kucinta, namun hanya sementara.

Di sini aku belajar, bahwa keinginan bukanlah satu-satunya hal di dunia ini untuk kau . Tapi, bagaimana kaubisa menjalani hidup tanpa ada tekanan dan tertawa bersama mereka. Sekarang aku berharap kepada Tuhan, agar aku dapat mencintai orang-orang di sekitarku selamanya. Semoga.