Beranda Budaya

Budaya Gotong Royong Jadi Kewajiban, Masyarakat Baduy Tak Perlu Membayar Pemborong

Budaya Gotong Royong Jadi Kewajiban, Masyarakat Baduy Tak Perlu Membayar Pemborong
Model rumah masyarakat Baduy, Lebak-Banten

, Pelitabanten.com – Sejumlah masyarakat komunitas Suku Baduy di pedalaman Kabupaten Lebak, Banten masih menjadikan budaya sebagai kewajiban.
“Hari ini kami harus pulang ke kampung, karena besok (Selasa) ada kegiatan gotong royong membangun rumah tetangga,” kata Santa (45) Baduy saat menjajagi minuman madu keliling di , Senin (13/3/2017).

Ia mengaku budaya gotong royong bagi masyarakat Baduy merupakan kewajiban untuk saling membantu sesama membutuhkan tenaga. Sebab, budaya gotong royong tersebut merupakan peninggalan nenek moyangnya. Apabila, mereka tidak mengikuti gotong royong, selain malu kepada warga juga harus membayar dana yang telah disepakati masyarakat setempat. Karena itu, dirinya terpaksa hari ini harus pulang ke kampung karena besok akan melaksanakan gotong royong. “Kami yang tingal di Kampung Cipiit yang merupakan kawasan permukiman masyarakat Baduy akan mengerjakan pembangunan rumah tetangga,” katanya.

Baca Juga:  Panen Ikan Layur dan Tuna, Nelayan Lokal dan Nelayan Andong Bersitegang
Budaya Gotong Royong Jadi Kewajiban, Masyarakat Baduy Tak Perlu Membayar Pemborong
Deretan rumah masyarakat Baduy di kampung Balimbing (Foto: Sarpin)

Menurut Santa, gotong royong membangun rumah tetangga itu sebagian besar material bangunan, seperti kayu, papan, paku dan atap ijuk dari pohon aren didatangkan dari luar kawasan pemukiman Baduy. Pembangunan rumah Baduy terbuat dari bilik bambu juga kayu-kayuan dan tidak menggunakan bahan material semen dan bata. Karena itu, dirinya setiap membangun rumah warga selalu bergotong royong. Begitu juga dirinya membangun rumah yang kini ditempati dari hasil gotong royong masyarakat. Sebab, gotong royong itu tidak mengeluarkan dana cukup besar karena ditunjang oleh tenaga masyarakat lainnya. “Kami merasa malu jika tidak melaksanakan gotong royong, meskipun sudah tiga hari berjualan madu belum habis terjual,” kata Santa.

Ia mengaku dirinya berjualan madu keliling itu masuk kampung keluar kampung di Kota Rangkasbitung. Ia membawa 20 botol dengan harga Rp100.000 per botol dan jika habis terjual dapat mengeruk keuntungan sekitar Rp1 juta. berjualan madu itu, kata dia, nantinya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Apalagi, saat ini padi huma terserang hama sehingga hasil panen tidak menggembirakan. “Kami lebih memilih pulang dan bergotong royong, kendatipun belum habis terjual semua,” ujarnya.

Baca Juga:  Revitalisasi Sastra Lisan di Kasepuhan Cibadak
Budaya Gotong Royong Jadi Kewajiban, Masyarakat Baduy Tak Perlu Membayar Pemborong
Deretan rumah masyarakat Baduy di kampung Balimbing (Foto: Sarpin)

Begitu juga Ardalim (50) warga Baduy mengaku dirinya hingga kini kewajiban melaksanakan gotong royong setelah hasil musyawarah tetua . Biasanya, kegiatan gotong royong itu diantaranya membangun rumah warga, menanam aneka pohon guna penghijauan juga membangun jalan dan kematian. Namun, pembangunan jalan di kawasan permukiman Baduy tidak menggunakan jalan aspal. “Kita membangun jalan hanya jalan dan diperbolehkan menggunakan alat cangkul,” ujarnya.

Wakil , H. Ade Sumardi mengatakan penduduk masyarakat Baduy berjumlah sekitar 10.600 jiwa hingga kini tetap melestarikan budaya gotong royong. Bahkan, kegiatan gotong royong itu merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan. Gotong royong tersebut sebuah cerminan masyarakat Baduy untuk saling tolong menolong juga bantu membantu antarsesama warga setempat. Kegiatan gotong royong juga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. “Kami mengapresiasi masyarakat Baduy cukup tinggi dalam melaksanakan gotong royong itu,” katanya. (Dikutip dari antaranews.com)

Baca Juga:  Sumangku, Apresiasi Pentas Seni Budaya Warga Paninggilan Ciledug