JAKARTA, Pelitabanten.com – Al Quran sebagai Kitab Suci umat Islam, sesungguhnya tidak saja diturunkan sebagai petunjuk umat manusia dan pembeda antara yang haq dan yang bathil. Namun Al Quran juga dihadirkan sebagai Maha Puisi yang mengatasi kekuatan syair-syair yang dicipta oleh para penyair pada masa jahiliyah. Syair-syair masa jahiliyah yang kerap meninakbobokan cita rasa ketuhanan dan kemanusiaan dihadapi oleh Al Quran sebagai puisi yang mengantar peradaban baru yang menghormati manusia dan penciptanya.
Demikian disampaikan Penyair Chavchay Syaifullah saat mengisi ceramah agama pada acara Sastra Reboan dengan tema ‘Ramadhan di Bulungan’ di Warung Apresiasi (Wapres), Blok M, Bulungan, Jakarta Selatan, Rabu (22/6/2016).
Dalam ceramahnya, Seniman yang menjabat sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Banten (DKB) tersebut mengulas soal Kitab Suci Al-Quran yang jatuh tepat pada 17 Ramadhan malam ini, dapat membebaskan segala bentuk penindasan yang terjadi pada jaman jahiliyah di jazirah Arab.
“Potret perbudakan, penindasan dan pemerkosaan terhadap kaum perempuan di kala itu disebut sebagai sejarah kelam dan hitam. Al Quran diturunkan pada malam Lailatul Qodr dibarengi dengan diutusnya Nabi terakhir, Nabi Muhamad SAW untuk menyempurnakan akhlaq manusia dan mengangkat peradaban di bumi ini”, kata Chavchay Syaifullah dalam kuliah tujuh belas menit di Bulungan, Rabu (22/6/2016)
Hadir dalam acara tersebut sejumlah penyair senior membacakan puisi-puisinya, antara lain Abah Yoyok, Uki Bayu, Kurnia Effendi, Saut Poltak Tambunan, dan Slamet Widodo. Turut tampil musikalisasi puisi antara lain Jodi Judono, Netta Kusumah dan Violi.
Lebih lanjut Seniman yang lahir di Jakarta, 1 Oktober 1977 itu merasa miris melihat peristiwa segala bentuk pemerkosaan yang terjadi akhir-akhir ini di bumi pertiwi Indonesia. Seperti, seorang karyawati dibunuh dan diperkosa dengan cara dimasukkan gagang pacul ke dalam kelaminnya, dan kasus pemerkosaan anak di bawah umur.
“Kita tidak menemukan Nabi lagi, situasi saat ini semakin hancur, kekelamam hadir di tengah-tengah kita. Namun sebagai seorang muslm, kita harus menyatakan bahwa fasyhadu bi anni muslim. Seorang Muslim harus berpegang teguh pada koridor keislaman kita. Itu merupakan benteng kita”, jelas Chavchay Syaifullah
Seniman sekaligus penyair yang telah menciptakan karya puisi dalam buku “Antologi Puisi’ dan novel sastra ‘Payudara’ dan ‘Sendalu’ ini, menyinggung soal sastra dalam Al Quran teramat indah dan sempurna. Baginya, Al Quran sangat puitis dan metafornya begitu indah. Al Quran hadir di tengah penyair Arab untuk melawan para penyair yang memuja raja.
“Islam dan Al Quran dihadirkan untuk melawan kesombongan para penyair. Bahkan dalam ayat Al Quran, Allah menantang para penyair untuk membuat kutipan syair yang menyerupai ayar-ayat Al Quran. Namun satu pun tidak sangup untuk menyainginya, wa inkuntum fi raibin mimma nazzalna ‘ala ‘abdina, fa’tu bisuratin min mitslihi ”, tegas Chavchay Syaifullah.
Chavchay Syaifullah juga mengajak para seniman yang hadir di acara ‘Sastra Reboan’ untuk tidak dijadikan sastra sebagai gerakan nonsens. Seorang seniman harus membantu sebagai peran ulama untuk menghadirkan kembali nilai religiutas di dalam perkotaan dan pedesaan. Agar kebudayaan bernuansa spiritual selalu hadir di tengah-tengah kita.
“Sastra harus ditulis sebagai proses ibadah. Karenanya penyair perlu mengkaji lebih dalam Kitab Al Quran sebagai Maha Puisi”, tutup Chavchay Syaifullah
Di akhir ceramahnya, Chavchay Syaifullah juga membacakan satu buah puisi berjudul ‘Sajak dari Seekor Semut’ yang terinspirasi dari Kisah Sejarah Nabi Sulaiman AS.