Beranda Budaya

Dosa Seorang Pengangguran (Cerpen)

Dosa Seorang Pengangguran
ILUSTRASI (Foto: geralt-9301/pixabay)

Karya : Diong Andini

Pelitabanten.com nama gue Bahrun anak bontot yang tak pernah merasa seperti anak bontot pada umumnya, yang selalu di spesialkan. Mungkin itu gara-gara gue produk yang tak disengaja tumbuh dalam rahim ibu tapi tetap saja meski tak disengaja gue tetap dipertahankan sampai brojol. Seperti judulnya gue itu pengangguran yang berkedok .

Memilih jadi mahasiswa adalah salah satu cara jitu untuk menunda gelar pengangguran, sebetulnya gue bukan pengngguran kelas kakap untuk saat ini gue baru memasuki kelas ikan sarden, gue masih junior bagi Suparto, yang terkenal sebagai pengngguran sejati sekampung bahkan namanya melejit ketika istrinya Suminah tak tanggung-tanggung menamparnya dengan sandal teplek menurut cerita yang beredar bekas sandal teplek itu masih tercetak jelas di pipinya selama seminggu. Bukan main Suminah itu.

Siapa pula yang tidak menampar pipi manusia model Suparto yang kerjaanya hanya menulis dan mencari-cari nada di bututnya itu, padahal tungku tidak bisa menyala dengan lirik lagu. Kemarahan Suminah mencapai puncaknya ketika ada acara syukuruan di , tungku-tungku tetangga sudah mengepulkan asap sedang tungku Suminah tidak ada tanda-tanda akan dinyalakan, bukannya tunku yang menyala, malah amarah Suminah yang menyala-nyala api marah berkobaran di matanya  ketika suaminya, Suparto masih setia mendengkur dengan ditemani suara kusut dari radionya yang butut yang sudah terkentut-kentut.

Sedangkan waktu sudah menunjukan pukul setengah tujuh pagi, tanpa babibu Suminah melempar panci  yang masih belum lunas sampai penyok panci itu dibuatnya, kalau aku jadi Suminah pun bukan panci yang akan aku lempar, tapi Suparto yang akan aku tendang hingga terdampar di Nusakambangan.

Jantung Suparto meloncat wajahnya yang kisut gelagapan dibuatnya, perutnya yang buncit menyembul dari balik sarungnya dengan sempoyongan dia berjalan ke dapur dan melihat mata istrinya mengobarkan api peperangan, Suminah yang sudah habis kesabaran mengeluarkan semua kemuakannya selama ini.

“Lihat Pak Harto dia punya sawah berhektar-hektar, kebun berkebun-kebun, mobil berjejer, motor tak terhitung tapi dia tidak pernah bangun siang kaya lu, yang pengangguran tapi belaga bangun siang udah kaya !” semburan demi semburan terus keluar dari mulut apinya dengan tangan menunjuk-nunjuk ke arah rumah pak Harto sang juragan berkumis baplang. Tak sampai disitu Suminah terus memuntahkan amarhanya.

“lu mikir selama ini gue udah sabar ngadepin lu yang lahir dari sendok bebek tapi begaya seolah lahir dari sendok emas, masih untung gue belum punya anak dari lu,  coba lu bayangin kalau kita punya anak, mau dikasih makan apa? Sedangkan lu molor dari tenggelam sampai tenggelam lagi. Entah kenapa gue biasa-bisanya kepingin nikah sama lu. udah mulai detik ini PISAH gue SUPARTO”.

PLAK

Pantat sandal mendarat di pipi kisut Suparto sedangkan Suminah bergegas ke kamar mengambil tas jinjing dan memasukan pakaian seadanya dan meningalkan rumah gubuk yang sudah hampir roboh itu selamanya, konon suara tamparan itu terdengar sampai rumah tetangga yang ada di kanan kirinya, buset sesakit apa kira-kira amukan dari Suminah itu. Kalau dipikir-pikir mungkin tidaklah berdosa mendamprat kepala rumah tangga macam Suparto.

Tapi anehnya Suparto tidak berkutik sedikitpun saat istrinya, eh maksud gue istrinya mendampratnya habis-habisan. Dari beberapa sumber yang gue dapat katanya Suparto sudah lama ingin pisah dengan Suminah cuman tidak untuk menalaknya karena dulu Suminah yang mengejar-ngejar Suparto si pengangguran kelas kakap. Suparto tetaplah Suparto yang enggan bekerja dan terus menulis lagu dan mencari-cari nada di atas senar gitarnya yang butut, kalau ingin, makan modal ikut pengajian, ngopi modal nongkrong di pos ronda.

Gue pengangguran tapi dosa pengangguran gue tak sebanyak dosa Suparto gue masih lajang jadi gue belum punya tanggung jawab, hanya saja kadang-kadang akal sehat gue mengatakan kalau gue harus bekerja, oleh karena itu selain kuliah gue jadi tukang cuci motor di steam Enci Lim, meski begitu gue masih saja di cap pengangguran di rumah dan dibanding-bandingkan dengan si Yatna anak Pak Rohis, yang terkenal dengan gajinya enam juta perbulan. Aelah, enam juta perbulan lumayan sih, daripada gue yang gajinya modal kadang-kadang, masalah disbanding -bandingkan jangan ambil pusing anggap saja gue sedang studi banding dengan si Yatna gaji enam juta, sejak sering disebut-sebut namanya gue mengganti namanya menjadi “Yatna si gaji enam juta” kalau-kalau nanti gajinya naik tinggal kuganti saja angkanya, biar ibu bangga. Rupanya jenis-jenis dosa yang terkenal bukan hanya seputar zina dan korupsi tapi dosa pengaguran harusnya jangan kalah pamor.