BOGOR, Pelitabanten.com – UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa yang lebih dikenal dengan UU Desa diharapkan dapat menciptakan inisiatif dan inovasi di level desa, desa di satu sisi diberikan kewenangan untuk mengatur dan menentukan sendiri urusan pembangunan desanya tapi disisi lain desa masih dianggap belum dewasa menentukan jalan menuju kemandiriannya.
Menurut UU Desa bahwa Dana Desa dipergunakan untuk membiayai infrastruktur ekonomi, sosial, fisik dan peningkatan berusaha masyarakat di pedesaan. Merefleksikan Tiga Tahun Implementasi UU Desa, Yayasan Setara Jambi melalui dukungan Misereor menyelenggarakan kegiatan Loka Karya bertajuk “Refleksi Tiga Tahun Implementasi UU Desa; Memetik Pembelajaran Bersama Untuk Mewujudkan Pembangunan Desa Yang Mandiri dan Sejahtera” di Hotel Amaris – Bogor, 27-28 April 2018.
Kegiatan diikuti 60 orang partisipan terdiri dari pemerintah Desa, Pengurus Kelompok Tani dan Kelompok Perempuan dari Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Barat, perwakilan NGO mitra-mitra Miseoreor (jaringan join learning) CAPPA, WALHI Jambi, Yayasan Bina Desa, Sawit Watch, Gemawan, JPIC, SOB, WALHI Kalimantan Tengah dan WALHI KALSEL (masing-masing lembaga mendelegasi 1 orang perwakilan lembaga dan 1 orang perwakilan masyarakat dampingan).
Dalam loka karya tersebut, Jaro Ruhandi Kepala Desa Warungbanten, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten berbagi pengalaman memimpin desa. Dimana desa yang dipimpinnya merupakan desa Adat yang masyarakatnya masih memegang teguh tradisi para leluhur.
“Di Kabupaten Lebak, Banten ada 152 Kasepuhan yang masih lestari, terjaga dan diwariskan ke anak cucunya, salah satunya ada di desa kami di Kampung Adat Kaolotan Cibadak. Prinsip memimpin di desa Adat ada 3 yaitu, tilu sapamulu, dua sakarupa, nuhiji eta-eta keneh. Tilu sapamulu artinya tiga prinsip yang harus diikuti, yakni Agama, Negara, dan Adat,” kaya Jaro Ruhandi mengawali presentasinya, Jumat (27/4/2018).
Tiga prinsip dasar memimpin desa di Kesepuhan Adat mensyaratkan adanya kompromi dalam menentukan garis kebijakan desa. Selain UU Desa yang menjadi acuan dalam penerapan kebijakan pemerintahan desa, budaya rembug dengan para sesepuh adat menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan.
Ada banyak larangan dan pantangan adat yang harus ditaati oleh masyarakat, salah satunya adalah tidak diperbolehkannya menjual hasil panen padi. Hampir semua warga desa memiliki limbung padi sendiri-sendiri untuk kebutuhan pangan mereka yang tidak pernah ada habisnya.
Dalam menerapkan kebijakan pembangunan, Jaro Ruhandi lebih mengutamakan pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan sumber daya manusia ketimbang infrasturktur fisik di desa.
“Selain infrastruktur desa, kami lebih mengutamakan pembangunan sumber daya manusia, alasannya sederhana, jika fisik dibangun seperti jalan desa, ia hanya bertahan paling lama 3 tahun, sementara jika pemberdayaan SDM yang dikuatkan, ia akan membantu memberikan kesadaran bahwa masyarakat harus lebih berdaya saing, sehingga petani desa akan meningkat kesejahteraannya,” ujar Kang Jaro.
“Kami membangun desa dengan melakukan Gerakan Literasi melalui Taman Bacaan Masyarakat di Rumah Adat dengan upaya mendekatkan buku ke masyarakat, di setiap RT/RW kami sediakan pojok baca yang sesuai kebutuhan pengetahuan warga, misalnya cara bercocok taman atau peternakan,” imbuhnya.
Selain Jaro Ruhandi, hadir pula Tejo Wahyu Jatmiko, dari Perkumpulan Indonesia Berseru Aliansi Untuk Desa Sejahtera dan Subdit Pemberdayaan Masyarakat Desa Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Desa Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kemendes PDTT, Ir. Sukamdani, MM.