TANGERANG, Pelitabanten .com — Diskusi Tangerang Raya (DTR) Dwi Mingguan yang digagas oleh Kajian Politik Nasional (KPN), Visi Nusantara, Perekat Demokrasi memasuki episode ke-3, Jumat (10/11/2023) di Loteng Cafe, Kota Tangerang. Kali ini mengangkat topik tentang permasalahan tata kelola sampah yang ada di wilayah Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kabupaten Tangerang (Tangerang Raya).
Dalam paparannya, Direktur Eksekutif Visi Nusantara (Vinus), Subandi Musbah mengatakan bahwa pengelolaan sampah selama 10 tahun kepemimpinan di Tangerang Raya masih menyisakan berbagai masalah, walaupun pihak Pemerintah Kabupaten dan Kota terus melancarkan berbagai kebijakan guna memuaskan masyarakat dalam hal pelayanan.
“Salah satu contoh, Pemkab Tangerang tidak punya grand design jangka panjang dalam mengatasi sampah. Banyak anggaran tetapi tidak ada perencanaan yang strategis bermutu, padahal resource-nya banyak. Apakah itu SDM, APBD bahkan dana desa,” ujarnya.
Hal senada juga dikatakan, Direktur Eksekutif Perekat Demokrasi, Khoirun Huda. Aktivis yang akrab disapa Kang Huda ini menambahkan, sampah di Kabupaten Tangerang akan menjadi masalah sosial masyarakat yang serius jika tidak segera dilakukan penanganan secara komprehensif dan dalam skala prioritas pembangunan.
“Konflik masyarakat akan terjadi ketika ada persoalan yang tak kunjung bisa diselesaikan. Nah sampah di Kab Tangerang ini salah satunya. Banyaknya aduan soal TPA Jatiwaringin Mauk, sampah maupun limbah pabrik yang mencemari lingkungan sekitar. Langkah taktis cepat harus segera diambil, manfaatkan sumber daya APBD yang besar dan dana desa bisa menjadi solusi cepat. Tapi juga perencanaan yang matang,” ujarnya.
Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Tangerang Budi Khumaedi menyatakan bahwa pihak Pemkab telah berusaha untuk mengatasi persoalan sampah yang ada di wilayahnya melalui program bank sampah serta Perda Tahun 2023 yang isinya menyempurnakan Perda Tahun 2016.
“Memang kami akui pengolahan yang dijalankan masih konvensional, namun kami terus berupaya memberikan pelayanan yang terbaik. Baru saja dibentuk Bank Sampah Induk (BSI) berskala Kabupaten yang diharapkan dapat mereduksi sampah yang ada di Kabupaten Tangerang,” ungkapnya.
Dalam kesempatan yang sama Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang, Dadang Basuki menyatakan bahwa pihaknya mencoba mengadopsi beberapa teknologi untuk mengurangi jumlah sampah yang harus dibuang ke tempat pembuangan akhir atau TPA.
“Kami coba mengupayakan berbagai metode seperti Rumah Olah Sampah Organik (ROSO) dengan metode intermediate treatment facility (ITF), memanfaatkan maggot, serta peran aktif masyarakat dengan pengelolaan Bank Sampah sebagai solusi alternatif di kota Tangerang,” ungkapnya.
Menyikapi sampah di Kota Tangerang Selatan, Aktivis Lingkungan Hidup Tatang Sago menyoroti tentang Kontrak Kerjasama pengiriman sampah dari Kota Tangerang Selatan ke Kabupaten Lebak karena TPA Cipeucang sudah over load. Dalam kebijakan itu, Tatang Sago justru menyoroti tentang jasa pengangkutan sampah yang cukup membebani APBD di mana sebelumnya pengangkutan sampah yang dikelola oleh swasta dari Kota Tangsel ke Kota Serang menghabiskan anggaran sekitar 49 miliar/tahun. Namun dalam implementasinya banyak terlihat mobil-mobil berplat dinas juga ikut digunakan untuk mengangkut sampah.
“Saya melihat ada indikasi kecurangan. Diduga ada mafia transporter sampah. Pengangkutan sampah itu melalui tender dan harusnya dikelola swasta, kenapa mobil dinas masih ikut-ikutan? Belum lagi ada indikasi permainan tonase. Saya menilai Pemkot Tangsel dalam mengelola sampah seolah tak mau ambil pusing, padahal sesuai Perpres 35 tahun 2018 termasuk Kota Kab yang ditunjuk oleh Pemerintah pusat dalam pembangkit listrik tenaga sampah (Pltsa). Tapi hingga kini tak ada upaya jelas atau solusi soal sampah,” ungkapnya.
Pengolahan Sampah Berbasis Teknologi
Wilayah Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan sebagai wilayah Urban yang padat penduduk tentu tidak memiliki lahan yang cukup jika masih melakukan pengolahan sampah dengan cara menimbun secara konvensional.
Berbeda halnya dengan wilayah Kabupaten Tangerang yang di dominasi wilayah perdesaan, dimana sampah dari masing-masing individu dikelola sendiri. Namun praktik pengelolaan sendiri ini tidak terlepas dari pembakaran atau penghanyutan ke sungai yang jelas melanggar aturan.
Dalam hal ini Pemerintah Daerah dituntut untuk bisa membuat suatu inovasi pengolahan sampah berbasis teknologi yang bermuara pada konsep Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) atau penguraian dengan menggunakan maggot sehingga dapat menjadi pakan bagi hewan ternak.
Namun pada praktiknya, persoalan ijin dalam pembentukan PLTSa ini tidak mudah. Padahal Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan ikut menyaksikan kerjasama pembangunan PLTSa antara Kota Tangerang dengan PT. Oligo Infrastruktur Indonesia pada Maret 2022, dan mengatakan akan membantu perijinan hingga pendanaan. Namun kenyataannya sampai saat ini PLTSa di Kota Tangerang tidak kunjung berdiri.
“Kami melihat dengan data empiris bahwa birokrasi perijinan ini sangat rumit, padahal pemerintah pusat sudah mengatakan akan mempermudah, namun kenyataannya kesulitan,” ungkap Aktivis Saipul Basri.
Lanjutnya, kalau memang kontrak dengan PT Oligo ini tak jelas dan bahkan secara hitungan tidak menguntungkan dan malah bakal membebani APBD Kota Tangerang, maka perlu ditinjau ulang.
“Kalau hanya ujungnya membebani APBD , mending ditinjau ulang kontrak dengan Oligo, atau apalah bahasanya. Ketimbang ada kontrak tapi tak jelas. Ini seperti pemerintah pusat maksain kelihatannya. Mending Kelola sendiri, kalau tidak salah dulu kalau tidak salah mau ngelola sendiri gembar-gembor pakai teknologi RDF (Reduse Derived Fuel) yg murah malah,” ujar Pria yang disapa Bung Marcel ini.
Diketahui, Pemerintah Pusat mengadakan program percontohan nasional dalam hal pembuatan PLTSa. Dalam program ini, dipilih 12 Kota di Indonesia dengan tingkat kepadatan penduduk, peluang investasi, serta tingkat penghasil sampah diatas 1.000 ton/hari, sehingga Kota Tangerang dan Tangsel menjadi salah satu pilihan. Namun kenyataannya sampai saat ini baru 4 Kota di Indonesia yang berhasil menjalankan program tersebut.
“Dari sisi Pemerintah Kota, kami sudah menyiapkan segala yang dibutuhkan. Saat ini kami menunggu dari pihak PT. Oligo. Menurut hasil pertemuan terakhir, jika seluruh mekanisme perijinan bisa di kantongi PT. Oligo, program ini dapat dimulai Juni 2024,” ujar Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang ini, Dadang Basuki.
Masalah Sampah Juga Tanggung Jawab Masyarakat
Persoalan sampah ini tentu tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab masyarakat sebagai produsen utama sampah. Kita perlu menyadarkan masyarakat tentang pentingnya kelestarian lingkungan serta bersikap dewasa dan mandiri dalam mengurangi sampah dilingkungan rumah tangga, sebab dengan pembenahan di hulu maka dampak penimbunan sampah di hilir juga dapat diatasi.
“Saya kira kesadaran masyarakat juga menjadi hal yang utama, tidak bijak jika kita melempar tanggung jawab tentang sampah ini sepenuhnya terhadap pemerintah. Masyarakat sebagai produsen tentu harus juga diberi pemahaman untuk mengelola sampahnya masing-masing,” ungkap akademisi dari universitas, Ukon Furkon Sukanda.
“Kami sebagai akademisi di Tangerang Raya ini hanya jadi penonton ketidakmampuan Pemerintah dalam mengelola sampah, padahal kami menunggu untuk diajak bertukar gagasan tentang solusi yang efektif dan efisien. Mungkin ada ketidakpercayaan dari Pemerintah kepada kami, karena kami juga coba mengajukan gagasan, namun tidak ada feedback,” ungkap dosen komunikasi ini.
Disisi lain Komunikolog Politik dan Hukum Nasional Tamil Selvan mengatakan bahwa pengelolaan sampah tidak akan mampu dilakukan oleh pemerintah tingkat kabupaten dan kota secara sendiri tanpa melibatkan pemerintah pusat. Pasalnya sampah plastik yang menjadi permasalahan utama, merupakan kemasan produk keseharian yang butuh Undang-Undang untuk meminta produsennya menghentikan pengunaan plastik tersebut.
“Sampah plastik itu kalaupun didaur ulang supply and demand nya tidak seimbang, sehingga sampah nonreuseable terus menjadi masalah, dan pemerintah tingkat kabupaten kota yang menanggungnya di hilir. Jadi perlu ketegasan pemerintah pusat, jangan hanya sepihak membebankan ini pada kesadaran masyarakat dan pengelolahan pemda,” ungkap Dosen Universitas Dian Nusantara ini.
Kang Tamil panggilan akrabnya melihat bahwa dalam pengelolaan sampah ditingkat Kabupaten Kota di Tangerang Raya, Kota Tangerang mampu menghadirkan solusi tang inovatif ketimbang cara-cara konvensional.
“Saya lihat Pemkot Tangerang ini berani mengambil kebijakan inovasi, dengan sistem maggot, lalu menjadikan sampah plastik sebagai barang prakarya. Soal hal tersebut belum efektif dan perlu pembenahan, itu soal lain. Tapi saya melihat keberanian pemimpin untuk bergerak, tidak hanya diam. Ini saya apresiasi,” ungkapnya. (rls)