LEBAK, Pelitabanten.com – Pelaksanaan Pilkada Serentak 2018 diwarnai fenomena munculnya calon tunggal. Setidaknya ada 13 daerah yang berpotensi pasangan calon akan melawan kotak kosong, di antaranya 3 dari 4 daerah di provinsi Banten yang menggelar Pilkada yaitu Lebak, Kota Tangerang, dan Kabupaten Tangerang.
Publik menilai bahwa munculnya pasangan calon hanya melawan kotak kosong memiliki tiga indikasi. Indikasi pertama, gagalnya pengkaderan partai politik dalam menyiapkan kader-kader terbaiknya di suatu daerah untuk muncul dan maju sebagai calon kepala daerah.
Kedua, setelah gagal menciptakan kader-kadernya di wilayah, partai akhirnya bersikap instan mengambil tokoh yang sudah populer, punya uang, lebih-lebih yang sudah memegang infrastruktur atau jabatan politik.
Ketiga, realistis pragmatis. Diujung masa pendaftaran, partai politik bersikap realistis dengan fakta yang terjadi, guna memenuhi pencalonan di daerah agar tidak ketinggalan gerbong kereta koalisi.
Demikian hal-hal yang mencuat pada diskusi publik yang digelar oleh Jaringan Rakyat Untuk Demokrasi dan Pemilu (JRDP) di restoran Nice Coffee, Lebak, Banten yang dihadiri lebih dari 100 orang aktivis di Lebak dengan narasumber Eka Satyalaksmana (Mantan Ketua Bawaslu Banten), H. Agus Sutisna, S.IP. M.Si. (Pemerhati Politik), A. Jazuli Abdillah (Dosen dan aktivis), Ade Jurkoni (Ketua Panwaslu Lebak), Ace S Ali (Komisioner KPU Lebak) dan dari perwakilan Aliansi Kotak Kosong (AKK) Kabupaten Tangerang, Kamis (17/1/2018)
Hal menarik disampaikan oleh salah satu narasumber, Jazuli Abdillah, bahwa fenomena calon tunggal melawan kotak kosong adalah realitas yang tak terbantahkan sebagai konsekwensi demokrasi yang kita anut di Indonesia. Menurut mantan Staf Ahli Komisi II DPR RI ini, kita memang menganut demokrasi prosedural yang dibungkus secara konstitusional melalui Undang-Undang yang pembahasannya sangat lama antara eksekutif dan legislatif, bahkan biayanya pun sangat besar, terlebih Mahkamah Konstitusi (MK) juga menghalalkannya.
“Digerakkan atau tidak, kotak kosong adalah realitas yang dijamin konstitusi. Bagi siapapun aktivis yang berinisiasi menggerakan dukungan terhadap kotak kosong harus diposisikan sebagai partisipasi politik dalam praktek demokrasi elektoral dalam rangka mengkanal aspirasi masyarakat. Jangan dilihat dari sisi negatif. Tapi, kalau gerakan kotak kosong sekedar seremonial sikap asal beda beberapa aktivis terhadap petahana atau hanya panggung perlawanan subyektif yang simbolis dan formalistik, tidak akan efektif.” Kata Jazuli.
Jazuli menambahkan bahwa secara teoritis istilah kotak kosong tidak dikenal dalam referensi ilmu politik maupun dalam khazanah referensi teori demokrasi.
“Idealnya, legalisasi kotak kosong tidak perlu hadir dalam sistem politik di Indonesia. Tapi itulah demokrasi kita, demokrasi yang sudah membawa cacad sejak lahir. Demokrasi yang kapitalis bahkan liberal yang membiarkan peredaran uang secara bebas. Kebebasan memilih menjadi syarat demokrasi, akhirnya pemilih yang tidak terdidik dipaksa memilih yang ada. Yang terbanyak dipilih, yang tertinggi suaranya lah yang akan jadi pemimpin, walaupun maling, walaupun bodoh, walaupun tidak berkualitas. Banyak orang baik dan jujur kalah. Banyak orang yang mampu dan kompeten gugur di kancah demokrasi elektoral Pilkada ini, karena yang milih sedikit, ongkosnya minim, dan dukungan parpolnya tidak ada. Walaupun di beberapa daerah ada yang punya track record baik bisa kalahkan incumben, seperti Pilkada Banten lalu. Itu karena mampu mengkapitalisasi potensi yang dimilikinya. Wajar, bila parpol menggunakan kalkulasi pragmatis dengan mengusung incumben karena popularitas dan elektabilitasnya tinggi. Efeknya ya calon tunggal, ya kotak kosong. Tapi secara prosedural, semua itu sah dan demokratis. Bagi yang tidak puas paling hanya bisa diam atau teriak, protes atau gerakin ini dan itu sambil tidak memberi garansi apa-apa buat kepentingan masyarakat. Itulah potret demokrasi kita hari ini” Tegas Jazuli.
Jazuli juga memandang perlu pemberian sanksi terhadap parpol yang tertutup dalam mengambil keputusan, sebenarnya memenuhi syarat mengusung pasangan calon tetapi tidak memiliki kemampuan mencalonkan pasangan kepala daerah.
“Mestinya civil society dan kawan-kawan aktivis awasi sejak awal prosesnya, dan dorong kalau parpol tidak mampu mengusung pasangan calon, ya, diberi sanksi. Jangan lantas berpikir karena ada kekosongan hukum dalam pilkada menyangkut kotak kosong kemudian dicari isi hukumnya. Itu pradigma yang keliru,” katanya.