Oleh:
Maulana Yusuf Amrullah
Sekretaris DPC GMNI Pandeglang
PANDEGLANG, Pelitabanten.com– Ribuan massa yang terdiri dari Tenaga Honorer Teknis berbondong-bondong berjalan kaki menuju halaman Gedung Sekretariat Daerah Pandeglang untuk melakukan tuntutan kepada Bupati Pandeglang agar di angkat menjadi PPPK Penuh waktu seperti yang tertulis dalam sebuah spanduk yang di bentangkan oleh para demonstran tersebut, pada Kamis (16/01/2025).
Spanduk yang tertulis tersebut berbunyi “Mati Matian Kami Bantu Ibu Bupati Tapi Ibu gak bantu kami, PPPK Penuh Waktu Harga Mati, Pantang Pulang Sebelum Tanda Tangan”, bunyinya.
Namun yang menarik ialah beredar video dalam unggahan instagram yakni akun @pandeglangeksis dan @infopandeglang yang memuat Orasi salah seorang demonstran.
Jangan di pilkada saja kami di jadikan sapi perah, setelah sukses anda hanya diam.
Tolong janji janji itu di realisasikan.
Itulah kutipan yang di sampaikan oleh orator yang di iringi dengan teriakan kekecewaan yang di sampaikan oleh para Tenaga Honorer Pandeglang.
Membedah Makna Konotasi “Sapi Perah”.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan konotasi adalah tautan pikiran yang menimbulkan nilai rasa pada seseorang ketika berhadapan dengan sebuah kata.
Konotasi adalah makna tidak sebenarnya atau kiasan. Kata dengan konotasi adalah mengandung makna tambahan yang dikenakan pada sebuah makna konseptual. Konotasi adalah memiliki makna tambahan berupa nilai rasa.
Menurut Abdul Chaer dalam Linguistik Umum, konotasi adalah makna lain yang “ditambahkan” atau makna yang di lebih-lebihkan yang berkaitan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok orang yang menggunakan kata tersebut.
Hanya jadi “Sapi Perah” dalam konteks Pilkada merujuk pada situasi di mana kelompok atau individu tertentu — seperti masyarakat, simpatisan, atau bahkan tim sukses — hanya dimanfaatkan untuk keuntungan sementara oleh para kandidat atau elite politik. Dalam hal ini, mereka diperlakukan layaknya sumber daya yang terus dieksploitasi untuk mendapatkan suara, dukungan, atau modal politik tanpa diberi timbal balik yang setara setelah kemenangan diraih.
Eksploitasi Berkedok Janji Manis
Setiap kali menjelang Pilkada, tenaga honorer selalu menjadi sasaran empuk janji-janji politik. Mereka mempekerjakan pekerja menjadi pegawai tetap, kenaikan upah, dan jaminan kesejahteraan. Namun, janji itu mengibaratkan fatamorgana — terlihat menggiurkan tetapi menghilang begitu saja kekuasaan yang diraih. Honorer hanya dijadikan alat untuk mendulang suara. Setelah pesta demokrasi usai, mereka kembali diabaikan, seolah eksistensi mereka hanya penting selama masa kampanye.
Ketika pemerintah daerah menggembar-gemborkan komitmen pelayanan publik yang berkualitas, ada satu fakta pahit yang tidak bisa diabaikan: ribuan tenaga honorer di Pandeglang terus terjebak dalam lingkaran eksploitasi. Mereka adalah pekerja keras yang menopang operasional berbagai instansi, tetapi apa yang mereka dapatkan? Upah rendah, status tak pasti, dan beban kerja yang semakin berat.
Tenaga Honorer Pandeglang bukan sekedar angka dalam statistik kepegawaian. Mereka adalah bagian dari masyarakat yang berhak mendapatkan pengakuan dan perlakuan yang adil. Jika eksploitasi ini terus dibiarkan, maka rakyat Pandeglang harus peka terhadap integritas pemimpin mereka. Jangan biarkan tenaga honorer terus menjadi “sapi perah” dalam sistem yang Korup. (*)