JAKARTA, Pelitabanten.com – Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta akhirnya membongkar bangunan di Ruko Niaga Pluit, Jalan Pluit Karang Niaga, Blok Z-4 Utara dan Z-8 Selatan, RT 011/RW 03 Kelurahan Pluit Penjaringan Jakarta Utara.
Pembongkaran sempat diwarnai aksi penolakan pemilik tempat usaha, penyewa, pekerja dan warga setempat hingga hari kedua pembongkaran, Kamis (25/5/2023).
Mereka bahkan menggeruduk ruko ketua RT Riang Prasetya alias Paul yang dianggap tidak pernah berdialog soal pelanggaran bahu jalan yang dilakukan pemilik tempat usaha.
Sambil membawa spanduk berukuran besar, mereka berjalan kaki dari ruko menuju kantor Riang. Sejumlah masa itu berteriak sambil menabuh ember plastik, meminta Riang untuk keluar dari kantornya.
“Kami pemilik UMKM dan karyawan-karyawan sudah berdagang di sini sejak 2003, sebelum Riang Prasetya menjabat. Jangan bersembunyi, keluarlah, berdialog dengan warga UMKM dan karyawan,” isi tulisan salah satu spanduk yang mereka bawa.
“Dicari! Ketua RT Riang Prasetya alias Paul. Menghilang karena tidak mau bermusyawarah dengan warga dan UMKM RT 011/RW 03,” tulisan spanduk lainnya.
“Sampai tugas RW, Lurah, Camat, Wali Kota dan Gubernur diambil semua, jangan serakah anda Cuma RT,” terpampang tulisan spanduk lain disalah satu ruko.
Salah seorang peserta aksi, Romawi (43) mempertanyakan kenapa pembongkaran baru dilakukan sekarang. Padahal mereka sudah tiga tahun bekerja di ruko tersebut.
“Kami karyawan semua. Harusnya pemerintah senang karena kami tidak harus ke luar negeri untuk cari uang. Di sini kami ada kerjaan walau gaji tak seberapa. (Kalau dibongkar) kami kasih makan (keluarga) pakai apa?” tukasnya penuh emosi.
Semangat, Anggota Komisi VI DPR RI, Darmadi Durianto yang hadir disela-sela pembongkaran menyatakan keprihatinannya.
Legislator PDI Perjuangan dari daerah pemilihan DKI Jakarta III meliputi Jakarta Utara, Jakarta Barat dan Kepulauan Seribu ini mengaku sudah menyerap aspirasi warga Ruko Niaga Pluit, Jalan Pluit Karang Niaga, Blok Z-4 Utara dan Z-8 Selatan, RT 011/RW 03 Kelurahan Pluit Penjaringan Jakarta Utara itu.
“Nah, kalau kita lihat yang pertama pembongkaran ini banyak membunuh usaha rakyat, membunuh UMKM juga. Jadi kalau mereka memang melanggar, disisi pelanggaran mengenai bahu jalan. Tetapi pemerintah lupa menyelesaikan masalah yang timbul akibat pembongkaran tersebut,” tegasnya kepada wartawan, Kamis (25/5/2023).
Ia menambahkan, jangan hanya melihat ruko atau pemilik usahanya. Di sekitar lokasi tersebut terdapat pula seribuan UMKM yang berjualan. “Jadi banyak usaha-usaha UMKM, usaha rakyat itu sekarang turun omzetnya, bahkan banyak yang berhenti berjualan,” bebernya.
Menurut Darmadi, jika pemerintah daerah mau melakukan pembongkaran mestinya ada solusi kepada masyarakat bawah. Jika tidak, ini merupakan langkah yang kurang bijaksana.
“Karena bagaimanapun ada masalah mengenai keadilan dan kemanfaatan hukum, bukan hanya kepastian hukum. Secara hukum mereka ada salahnya, tapi dampaknya ini dirasakan oleh UMKM yang jumlahnya cukup banyak di sini,” terang dia.
Yang kedua, kata Darmadi, RT itu mestinya Rukun Tetangga, membuat rukun warga. Tapi fungsi tupoksi Ketua RT tidak dijalankan dengan baik, sehingga dia tidak menggandeng warga, malah berseberangan dengan kebanyakan warga.
“Terutama pelaku usaha yang di sini. Koordinasi dan musyawarah tidak dijalankan menurut mereka. Itu yang terjadi di lapangan saat ini,” ucapnya.
“Mestinya kan ada koodinasi dan musyawarah ya. Toh usaha-usaha disini tiap bulan juga membayar fee hampir Rp 400-500 ribu, diluar uang-uang lain yang dipungut oleh RT,” tutup Darmadi
Sementara itu Seorang pria pemilik ruko yang enggan disebut namanya menjelaskan bahwa ruko yang ada di kawasan tersebut merupakan ruko lama.
“Awalnya pada tahun 1990 para pemilik ruko menyewa lahan di depannya (got dan bahu jalan) kepada Badan Pengelola Lahan (BPL) Pluit. Itu badan yang ditunjuk Pemprov DKI Jakarta untuk mengelola lahan kala itu,” ucapnya kepada wartawan.
Ruko tersebut, lanjutnya, dibangun developer PT Jawa Barat Indah pada 1990. Setelah jadi kemudian dihuni pembeli. Awalnya ada pemilik ruko yang memajukan barang dagangan hingga menutupi got.
Namun demikian mereka mengaku menyewa lahan tambahan itu kepada BPL. Pemilik ruko diwajibkan membayar sewa tahunan.
Seiring waktu BPL kemudian berubah nama jadi PT (Perseroda) Jakarta Propertindo atau disingkat Jakpro selaku pengelola fasilitas sosial dan fasilitas umum di kawasan yang diduduki bangunan ruko tersebut.
”Tahun 2019 kami para pemilik ruko sepakat membeli lahan tambahan ini ke PT Jakpro, tidak lagi sewa. Disetujui. Diterbitkan HGB (hak guna bangunan). Pemilik ruko sudah membeli, sudah bayar, ada HGB. Maka, berhak membangun apa saja di atasnya. Kemudian malah diributkan Pak RT itu,” keluhnya.
Celakanya lagi, kata dia, ruko-ruko yang dibongkar itu lokasinya merupakan rangkaian yang tak terpisahkan dengan pasar tumpah atau Pasar Jaya Muara Karang yang menampung ribuan UMKM.
“Jadi dampaknya secara langsung akan berpengaruh pada aktivitas ribuan UMKM tersebut,” pungkasnya.
Dikonfirmasi wartawan, Dirut PT Jakpro Iwan Takwin mengakui, fasos-fasum ruko di Pluit itu dulu sempat diberikan kepada PT Jakpro. Namun, pihaknya sudah melepas dan tak lagi jadi pemilik bangunan.
“Ruko itu bukan (dalam pengelolaan) PT Jakpro lagi. Kan sudah dilepas. Soal pembelian lahan yang dipersoalkan warga, saya tidak tahu. Karena saya jadi dirut Jakpro sejak November 2022,” kata dia dikutip Disway.