TANGERANG SELATAN, Pelitabanten.com – Orang tua terduga pelaku anak berhadapan dengan hukum (ABH) dalam kasus penganiayaan sesama anak di salah satu lembaga pendidikan pondok pesantren di Kota Bogor, Jawa Barat menduga korban telah membuat pernyataan bohong melalui pernyataan Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Pengadilan Negeri Bogor, saat sidang diversi pada Senin (8/1/2023) kemarin.
Dalam persidangan itu, pihak orang tua Korban yang diketahui mengaku sebagai pegawai Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KomnasHam) menyangkal telah meminta uang senilai Rp 80 juta untuk mencabut laporan penghentian kasus.
Namun, dia tidak menyangkal telah membicarakan kisaran denda dalam pasal penganiayaan anak itu nilainya sebesar Rp 72 juta.
Nurhayati, ibu dari terduga pelaku perkelahian anak menilai bahwa korban dalam sidang melalui JPU telah membuat pernyataan bohong dengan mengatakan tersangka dipukuli hingga pingsan.
“JPU ngomong korban dipukulin, diinjak-injak sampai pingsan, itukan terlalu berlebihan , kemarin aja waktu diversi di polres korban anak ngakuin bahwa kepalanya bocor karena jatuh bukan karena dipukulin,” ungkap Nur kepada wartawan, Jum’at (13/1)
Kata Dia, ayah korban yang merupakan pegawai KomnasHAM tidak memiliki hati nurani, Ia tetap bersikeras ingin anak berhadapan dengan hukum (ABH) harus dikeluarkan dari sekolah dan tetap dihukum walau sudah meminta maaf dan mengajak berdamai secara kekeluargaan.
Bahkan, sang oknum pegawai KomnasHAM tersebut mengancam akan menuntut yayasan pondok pesantren, sebab pihak pondok telah berusaha untuk mendamaikan.
“Ayah korban itu meminta anak-anak di keluarin dari sekolah dan pondok, dengan memberikan dua pilihan, yakni mengeluarkan tiga orang anak ini atau menuntut yayasan dan pengurus pondok ke pihak yang berwajib,” tutur Nur.
Nur menambahkan, “Apakah pantas seseorang yang mengaku pegawai KomnasHAM tapi mengesampingkan hak asasi anak,” tukasnya.
Kendati demikian, sebagai orang tua, sendiri membesarkan dan mendidik anak, mengakui bahwa apa yang dilakukan putra beserta kedua temannya adalah perbuatan yang salah dan tidak di benarkan.
“Saya tidak merasa apa yang di lakukan anak-anak benar, itu salah! Tapi, namanya anak-anak, kita orang tua mesti sama- sama sadar, introspeksi sebagai orang tua, kecuali setiap hari si anak dipukulin berarti itu sudah jadi karakter anak -anak kami,” urainya.
Nur menceritakan awal kejadian perkelahian tersebut, bahwa itu di awali dari sebuah komitmen yang dibangun para santri kelas 9 agar menjaga nama baik kelas dan pondok tempat mereka menimba ilmu.
“Sesuai kesepakatan, kalau ada diantara mereka yang melanggar aturan pondok dan membuat malu nama kelas akan di hukum, Nah, si anak ini saat itu tidak hadir pas salat dhuha dan salat dhuhur. padahal mereka dapat tugas dari pengurus yayasan untuk mengajar anak kelas 7 dan 8, tapi sudah 2 kali dia absen dan ditemukan sedang main game play station (PS). makanya, terjadi perkelahian itu, itupun tidak saya benarkan makanya kami minta maaf, biar objektif coba periksa catatan kenakalan korban di pondok,” bebernya.
Ia kembali menceritakan, bahwa orang tua korban pernah meminta uang puluhan juta untuk berdamai, namun karena dirinya dan orang tua lainnya tidak sanggup dan kasus ini terus bergulir.
“Ayahnya pernah minta uang Rp 80 juta itupun ketika kasus sudah berjalan lama di kepolisian dan dia akui kemarin waktu di pengadilan katanya uang itu buat pencabutan laporan atau berdamai, sudah ada proses tawar menawar diangka Rp 10 juta, tapi tetap minta Rp 80 juta dibagi empat dengan yayasan. saya dan orang tua lain gak sanggup memenuhi permintaannya dan kami hanya bisa pasrah,” terangnya.
Menurutnya kasus ini pasti akan mengganggu psikologis anak-anak, apalagi ayah korban bekerja sebagai pegawai KomnasHAM, pastinya lebih mengerti soal hak asasi anak.
“Sebagai Orangtua kita harusnya sadar dan introspeksi dan memperbaiki diri, bukan malah mau merampas hak asasi anak untuk belajar, meraih masa depannya sebagai generasi penerus bangsa,” Imbuh Nur.
Nur mengancam akan kembali menuntut balik korban jika ada pernyataan yang dinilai berbohong dalam persidangan.
Terpisah dihubungi, Didi Supandi selaku ayah korban menyangkal pernah meminta uang Rp 80 juta, tapi mengakui pernah minta pihak tersangka dan pesantren untuk membicarakan prihal denda sebesar Rp 72 juta karena pihak pesantren dinilai lalai dalam melakukan pengawasan.
“Anak itukan terkena pasal 76c terkena penjara 3,5 tahun, kalau denda sekitar Rp 72 juta, kata saya begini kalau bicara undang-undangkan segitu nilainya, silahkan tuh dikompromikan dengan pihak pesantren, pesantren inikan lepas tangan jadi maksud saya berempat itu di kompromikan, saya tidak menyebut angka,” ujarnya.
Didi mengaku sudah memaafkan para pelaku anak tersebut, namun bukan berarti menghentikan proses hukum.
“Kalau tindak pidana itukan maaf itu tidak menghentikan pidana, yang jadi persoalan saya itu sikap orang tua, nol besar katanya dia mau datang saya kasih alamat, mereka tidak pernah datang (kantor KomnasHAM Jakarta, red),” tutupnya.