Beranda News

Polemik Tempe Tahu Serasa ‘Kiamat’, Anggota DPR RI Ananta Wahana : Solusinya Pemerintah Harus Swasembada Kedelai

Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Ananta Wahana.
Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Ananta Wahana.

KABUPATEN TANGERANG, Pelitabanten.com – Indonesia tengah mengalami “kiamat” tempe, dipicu melonjaknya harga kedelai impor membuat pengrajin tempe dan tahu ngos-ngosan hingga terpaksa menghentikan produksi lantaran tak sanggup lagi membeli bahan baku.

Harga kedelai naik hampir dua kali lipat.

Di Jakarta, kedelai biasa dijual seharga Rp6.000-9.000 per kilogram. Tetapi harga jual kedelai terus merambat naik, hingga mencapai Rp12 ribu per kilogram. Akibatnya tempe dan tahu lenyap di pasaran, kalaupun ada langka. Ironis memang bagi negara agraris seperti Indonesia. Ketergantungan bahan baku kedelai impor telah memupuskan citra tempe sebagai makanan rakyat yang harusnya selalu tersedia di meja makan.

Parahnya, alih-alih untuk menutupi kebutuhan kedelai nasional, seolah-olah impor adalah jalan pintas dan satu-satunya. Saat ini ada lima negara utama sebagai pengimpor kedelai untuk Indonesia. Kelima negara tersebut yaitu Amerika Serikat (2,15 juta ton), Kanada (232 ribu ton).
Lalu Argentina (89,9 ribu ton), Brasil (9,24 ribu ton), dan Malaysia (5,5 ribu ton). Angka-angka tersebut adalah data yang dirilis BPS pada 2021.

Baca Juga:  PMI Kota Tangerang Latih Palang Merah Remaja

Sementara kenaikan harga kedelai pada minggu pertama Februari 2022 sudah menyentuh angka 15,77 dolar AS per bushel atau Rp 11.240 per kg.

Data Kementerian Pertanian menyebutkan sekitar 86,4 persen kebutuhan kedelai di dalam negeri berasal dari impor. Hingga 2020, BPS mencatat impor kedelai sebesar 2,48 juta ton dengan nilai 1 miliar dollar AS.

Karena itu, Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Ananta Wahana mendesak agar pemerintah perlu memikirkan langkah-langkah untuk mencapai swasembada kedelai. Sebab sebagai salah satu negara dengan konsumsi kedelai terbesar di dunia, pemerintah  harus mampu meningkatkan produktivitas kedelai lokal untuk memenuhi kebutuhan kedelai nasional.

“86,4 persen hingga 92 persen kedelai kita ketergantungan pasokan impor. Itu kan namanya “menyerahkan diri”, dalam bahasa jawa “pasrah bongkokan”. Swasembada adalah jalan terbaiknya, agar urusan tempe tahu ini tidak terjadi terus berulang-ulang setiap tahun, karena ketergantungan impor,” ujar Ananta Wahana, di Tangerang, Minggu (27/2/2022).

Kompleksitas Produksi Kedelai Dalam Negeri

Baca Juga:  WH Apresiasi Keberhasilan Polda Banten Jaga Kondusifitas Daerah

Menurut Ananta, beberapa hal menyebabkan Indonesia harus mengimpor kedelai, yaitu produksi dalam negeri yang rendah. Bahan dalam satu dekade terakhir, produksi kedelai nasional cenderung turun dari 907 ribu ton pada 2010 menjadi 424,2 ribu ton pada 2019.

Kemudian luas lahan panen kedelai terus mengalami penyusutan dari 660,8 ribu hektar di tahun 2010 menjadi tinggal 285,3 ribu hektar pada 2019.

Padahal menurut pemerintah, rata-rata kebutuhan kedelai nasional antara 2-3 juta ton per tahun. Sementara untuk memenuhi kebutuhan tersebut, setidaknya dibutuhkan lahan seluas 2,5 juta hektar.

“Hal ini juga dipengaruhi perubahan fungsi lahan ke sektor non-pertanian,” kata Ananta.

Berbagai faktor yang cukup kompleks, selain alih fungsi lahan tersebut, menurut Ananta, juga petani kurang tertarik menanam kedelai karena biaya produksi yang tinggi, harga yang tidak kompetitif dan keuntungan yang kecil.
Keuntungan pertanian kedelai per musim tanam hanya sekitar Rp 1,2 juta/hektar. Jauh dari keuntungan pertanian jagung yang mencapai sekitar Rp 4,1 juta/hektar, dan Rp 4,9 juta/hektar padi sawah per musim.

Baca Juga:  Isyana Suarakan Emak - Emak Dikarnaval Paslon 01

“Jadi petani kita menganggap budi daya kedelai itu tidak menguntungkan. Dan kalaupun menanam, hanya sebagai selingan saja,” ungkap Anggota DPR RI asal Dapil Banten III meliputi Tangerang Raya itu.

Selain itu, kata Ananta, teknologi pertanian negara Indonesia juga masih rendah. Sehingga berpengaruh terhadap kualitas kedelai lokal ketimbang impor. “Ini juga yang membuat mengapa perajin tempe kita lebih menyukai kedelai impor,” imbuhnya.

Kendati demikian, Ananta menganggap, bahwa kompleksitas produksi kedelai dalam negeri harus menjadi fokus pemerintah dalam melakukan swasembada kedelai, selain komoditas pertanian lainnya.

Menurut Anggota Komisi VI DPR RI itu, untuk mencapai swasembada kedelai, Indonesia memiliki lahan yang cukup luas, dan tanah yang subur. Tinggal bagaimana pemerintah bersungguh-sungguh melaksanakannya.

“Swasembada adalah jalan menuju kemandirian pangan bangsa kita. Ini persoalan ketahanan pangan. Ketergantungan kedelai impor harus segera disudahi. Tempe dan tahu adalah makanan rakyat, dan itu harus tetap ada di meja makan sampai kiamat nanti,” ujar Ananta.