JAKARTA, Pelitabanten.com – Entah apa yang ada di pikiran ibu Suhadah Warga Desa Waro Kecamatan Monta Kabupaten Bima ketika tahu bayi yang baru dilahirkannya harus meninggal dan jenazahnya dilarang diambil serta tidak diperbolehkan memakai ambulans Rumah Sakit untuk membawa jenazah bayinya pulang.
Pertanyaan itu mungkin tidak bisa kita jawab, apalagi oleh karyawan Rumah Sakit Umum Daerah Bima yang melakukan penahanan jenazah bayi dan pelarangan memakai ambulans.
Yang mudah ditebak adalah reaksi pimpinan Rumah Sakit dan Kepala Daerah dimana Rumah Sakit itu berdiri, yaitu meminta maaf. Kenapa? Karena kasus seperti ini bukan pertama kali terjadi dan tidak adanya sanksi tegas terhadap Rumah Sakit yang diberikan oleh Kepala Daerah maupun oleh Kementerian Kesehatan.
Saat pemilihan Kepala Daerah, isu yang selalu dijadikan pemikat warga adalah Kesehatan Gratis meski seringkali tanpa konsep yang jelas untuk pelaksanaannya. Yang terjadi justru pihak Rumah Sakit dipersulit ketika berbeda pandangan bahkan berbeda warna dengan si Kepala Daerah terpilih. Padahal untuk menyehatkan seluruh warganya, harus ada kerjasama dari semua pihak terkait.
Karena itu saya menghimbau pada rekan-rekan legislator di daerah agar mengkoreksi peraturan daerah tentang Kesehatan yang tidak berpihak pada masyarakat seperti pemberlakuan tarif ambulans dan permintaan uang di muka yang jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 44/2009 tentang Rumah Sakit pasal 29 ayat 1 huruf F dan Undang-Undang KESEHATAN Nomor 36/2009.
Kemudian patut ditunggu, apakah Menteri Kesehatan berani melakukan terobosan seperti yang diinginkan Presiden dari Kabinetnya? Jika tidak, maka sudah sepantasnya Presiden menegur keras Menkes, sebab tidak ada tawar-menawar perihal Kesehatan!
Dr. Ribka Tjiptaning P., AAK. dari Fraksi PDI Perjuangan Komisi-IX DPR RI berharap ini menjadi kasus yang terakhir dan Pemerintah Pusat mulai menggalakkan Revolusi Mental pada Kepala Daerah dan pihak Rumah Sakit di seluruh Daerah agar tidak melahirkan konglomerasi dengan cara memeras Rakyat!