KOTA TANGERANG, Pelitabanten.com – Sidang lanjutan serobot lahan Pemerintah Kabupaten Tangerang dengan terdakwa Tjen Jung Sen kembali di gelar di Pengadilan Negeri Tangerang, Senin, (11/03/2019). Saksi ahli yang didatangkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) memberatkan bos PT MPL atas betonisasi jalan di Sungai Turi, Desa Laksana Kecamatan Pakuhaji Kabupaten Tangerang.
Kali ini JPU menghadirkan 2 (Dua) saksi ahli, Pertama Majlis Hakim mendengarkan tanggapan dari saksi ahli dari Pakar Hukum Pidana Kemenkumham Adi Ashari. Melihat kasus ini Adi menganggap perkara Tjen Jung Sen masuk dalam pelanggaran hukum atas betonisasi jalan di lahan milik Pemkab Tangerang.
“Saya sudah membaca BAP, meskipun kejadian ini di Tahun 2003, saya melihat ada pelanggaran yang dilakukan. Diantaranya pelanggaran atas peraturan pemerintah tentang sungai,” ungkap dia di Ruang Sidang 2 PN Tangerang.
Adi mengatakan dalam pelanggaran ini meski kejadiannya sudah berlarut pelanggaran tetap bisa berkelanjutan.
“Tindak pidana ini terus berjalan meskipun ada aturan baru setelah pelanggaran. Sekalipun saat ini belum ada kerugian atas apa yang dilakukan, karena terdakwa telah melanggar Pasal 69 tanpa ijin dan 71 tentang Tata Ruang, itu delik formil,” ucapnya.
Dia menyebut perkara bos PT MPL ini masuk kedalam Delik Formil. Artinya meskipun belum berdampak atas perbuatannya Tjen Jung Sen sudah melanggar Undang – Undang dan dapat dijerat secara hukum.
“Jadi tidak usah menunggu akibat dari perbuatan yang dihasilkan. Karena untuk membuat jalan yang bukan diatas lahannya pengusaha harus mendapatkan ijin resmi, jadi tidak bisa membangun jalan sekalipun atas permintaan masyarakat,” tegas dia.
Sementara itu Majlis Hakim yang di Ketuai Gunawan juga mendengarkan keterangan dari Ahli Tata Ruang di Bapeda Provinsi Banten Riki Andrian ST. Dalam keterangannya Riki menganggap untuk dapat membangun jalan di lokasi tersebut harus mengantongi ijin dari pihak terkait.
“Untuk pemanfaatan ruang harus mengajukan dulu permohonan ke kepala daerah dan selanjutnya ke Dinas Penanaman Modal Terpadu Satu Pintu agar mendapat rekomendasi. Baru dari sana dikeluarkan ijin prinsip,” ucap dia.
Terlebih lagi dia menyebut jalan Sungai Turi tersebut merupakan kawasan Strategis Nasional atau kawasan Lindung. Karena menurut dia kawasan tersebut tidak boleh dimanfaatkan sembarangan.
“Ini harus ada juga ijin ke Pemerintah Pusat, apalagi kawasan ini termasuk kawasan Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane. ini harus ada ijin juga dari Menteri ATR yang juga mengatur pemanfaatan ruang,” ucapnya.
Dia menegaskan untuk aturan sepadan sungai sendiri sudah ditetapkan dalam Undang – Undang sebagai Kawasan lindung. Dengan begitu apapun pemanfaatan ruang harus sesuai dengan aturan.
“Itu ada di Peratuan Mentri PUPR Tahun 2018 No 8. Jadi untuk pemanfaatan ruang yang dapat dilakukan sifatnya dibatasi. Misalnya hanya dapat dibuat jaringan listrik dan digunakan untuk Ruang Terbuka Hijau,” ujarnya.
Riki menambahkan meskipun saat ini jalan tersebut belum berdampak bagi lingkungan sekitar tetapi dapat berdampak besar di kemudian hari.
“Dari aspek umum memang baik. Tetapi aspek lingkungan itu dapat berdampak besar dikemudian hari. Karena dampak dari pemanfaatan ruang di kawasan itu akan terjadi dalam waktu yang tidak sebentar, mungkin disitu tidak terdampak tapi nanti di hilirnya bisa saja terdampak. Dampak yang dihasilkan misalnya kualitas air jadi buruk, pengairan tidak lancar dan air pun bisa menjadi tercemar dan hitam,” bebernya.
Dari pernyataan kedua Ahli tersebut Majlis Hakim kembali menunda sidang ini hingga Senin, 18 Maret 2019 mendatang di PN Tangerang. Pada sidang nanti Majlis Hakim memberi kesempatan terhadap Kuasa Hukum terdakwa untuk menghadirkan dua saksi meringankan.