LEBAK, Pelitabanten.com – Afi Nihaya Paradisa, siswi SMA Gambiran, Banyuwangi, Jawa Timur yang namanya terkenal lantaran tulisan di akun Facebooknya tentang eksperimen tidak menggunakan gadget selama beberapa hari ketika saat itu isu fitnah tengah merebak di media sosial.
Setelah tulisannya berjudul “Warisan” yang mengajak seluruh bangsa Indonesia menjaga toleransi khususnya di media sosial, telah dibagikan sebanyak 8.214 kali dan mendapat reaksi dari 18.000 netizen. Nama Afi kembali diperbincangkan di media sosial setelah selama hampir 24 jam akun Facebooknya disuspend atau dilumpuhkan.
“Saya ingin tahu apa kerugian yang saya timbulkan sampai-sampai banyak orang melaporkan akun saya secara bersamaan. Pihak Facebook telah men-suspend/melumpuhkan akun saya selama hampir 24 jam, saat tulisan berjudul WARISAN sedang ramai-ramainya dibagikan.
Selama kurun waktu tersebut, akun saya menghilang. Saya sedih. Di depan mata, upaya saya sejak lama tiba-tiba sirna. Saya merasa bahwa inilah akhirnya,” ungkap gadis 18 tahun ini di akun Facebooknya setelah kembali aktif. Kamis (18/5/2017)
Kembali aktifnya akun FB Afi tersebut tak lepas dari upaya para followernya yang memviralkan #FACEBOOKbringbackAFI di media sosial.
Pelitabanten.com pun merasa perlu mengangkat peristiwa ini mengingat yang tulisan yang disampaikan Afi di akun FBnya, “Karena yang penting bagi saya adalah tersampainya beragam pesan kebaikan pada sebanyak-banyaknya pembaca.” Dan inilah tulisan Afi Nihaya Paradisa berjudul “Warisan” yang mengakibatkan akun FB-nya dilumpuhkan. Semoga mendapat perkenan dari Afi yang ingin menyampaikan pesan kebaikan kepada sebanyak-banyaknya pembaca.
“WARISAN” ditulis oleh Afi Nihaya Faradisa Kebetulan saya lahir di Indonesia dari pasangan muslim, maka saya beragama Islam. Seandainya saja saya lahir di Swedia atau Israel dari keluarga Kristen atau Yahudi, apakah ada jaminan bahwa hari ini saya memeluk Islam sebagai agama saya? Tidak.
Saya tidak bisa memilih dari mana saya akan lahir dan di mana saya akan tinggal setelah dilahirkan. Kewarganegaraan saya warisan, nama saya warisan, dan agama saya juga warisan.
Untungnya, saya belum pernah bersitegang dengan orang-orang yang memiliki warisan berbeda-beda karena saya tahu bahwa mereka juga tidak bisa memilih apa yang akan mereka terima sebagai warisan dari orangtua dan negara.
Setelah beberapa menit kita lahir, lingkungan menentukan agama, ras, suku, dan kebangsaan kita. Setelah itu, kita membela sampai mati segala hal yang bahkan tidak pernah kita putuskan sendiri.
Sejak masih bayi saya didoktrin bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar. Saya mengasihani mereka yang bukan muslim, sebab mereka kafir dan matinya masuk neraka.
Ternyata, Teman saya yang Kristen juga punya anggapan yang sama terhadap agamanya. Mereka mengasihani orang yang tidak mengimani Yesus sebagai Tuhan, karena orang-orang ini akan masuk neraka, begitulah ajaran agama mereka berkata.
Maka, Bayangkan jika kita tak henti menarik satu sama lainnya agar berpindah agama, bayangkan jika masing-masing umat agama tak henti saling beradu superioritas seperti itu, padahal tak akan ada titik temu.
Jalaluddin Rumi mengatakan, “Kebenaran adalah selembar cermin di tangan Tuhan; jatuh dan pecah berkeping-keping. Setiap orang memungut kepingan itu, memperhatikannya, lalu berpikir telah memiliki kebenaran secara utuh.”
Salah satu karakteristik umat beragama memang saling mengklaim kebenaran agamanya. Mereka juga tidak butuh pembuktian, namanya saja “iman”.
Manusia memang berhak menyampaikan ayat-ayat Tuhan, tapi jangan sesekali mencoba jadi Tuhan. Usah melabeli orang masuk surga atau neraka sebab kita pun masih menghamba.
Latar belakang dari semua perselisihan adalah karena masing-masing warisan mengklaim, “Golonganku adalah yang terbaik karena Tuhan sendiri yang mengatakannya”.
Lantas, pertanyaan saya adalah kalau bukan Tuhan, siapa lagi yang menciptakan para Muslim, Yahudi, Nasrani, Buddha, Hindu, bahkan ateis dan memelihara mereka semua sampai hari ini?
Tidak ada yang meragukan kekuasaan Tuhan. Jika Dia mau, Dia bisa saja menjadikan kita semua sama. Serupa. Seagama. Sebangsa. Tapi tidak, kan?
Apakah jika suatu negara dihuni oleh rakyat dengan agama yang sama, hal itu akan menjamin kerukunan? Tidak!
Nyatanya, beberapa negara masih rusuh juga padahal agama rakyatnya sama.
Sebab, jangan heran ketika sentimen mayoritas vs. minoritas masih berkuasa, maka sisi kemanusiaan kita mendadak hilang entah kemana.
Bayangkan juga seandainya masing-masing agama menuntut agar kitab sucinya digunakan sebagai dasar negara. Maka, tinggal tunggu saja kehancuran Indonesia kita.
Karena itulah yang digunakan negara dalam mengambil kebijakan dalam bidang politik, hukum, atau kemanusiaan bukanlah Alquran, Injil, Tripitaka, Weda, atau kitab suci sebuah agama, melainkan Pancasila, Undang-Undang Dasar ’45, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam perspektif Pancasila, setiap pemeluk agama bebas meyakini dan menjalankan ajaran agamanya, tapi mereka tak berhak memaksakan sudut pandang dan ajaran agamanya untuk ditempatkan sebagai tolok ukur penilaian terhadap pemeluk agama lain. Hanya karena merasa paling benar, umat agama A tidak berhak mengintervensi kebijakan suatu negara yang terdiri dari bermacam keyakinan.
Suatu hari di masa depan, kita akan menceritakan pada anak cucu kita betapa negara ini nyaris tercerai-berai bukan karena bom, senjata, peluru, atau rudal, tapi karena orang-orangnya saling mengunggulkan bahkan meributkan warisan masing-masing di media sosial.
Ketika negara lain sudah pergi ke bulan atau merancang teknologi yang memajukan peradaban, kita masih sibuk meributkan soal warisan.
Kita tidak harus berpikiran sama, tapi marilah kita sama-sama berpikir.