Beranda Opini

AGPPKnI: PP 57 Tahun 2021 Dianggap Ceroboh dan Gegabah, Mata Kuliah Pancasila dan Bahasa Indonesia Hilang

Unro, M.Pd., selaku Ketua Umum AGPPKnI (Asosiasi Guru PPKn Indonesia).
Unro, M.Pd., selaku Ketua Umum AGPPKnI (Asosiasi Guru PPKn Indonesia).

LEBAK, Pelitabanten.com– Seperti kita ketahui pemerintah baru saja menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 (PP 57/2021). Namun, belum lama terbit langsung mendapat penolakan keras karena dalam PP tersebut mata kuliah Pancasila dan Bahasa Indonesia hilang di kurikulum pendidikan tinggi, pada Sabtu, 17 April 2021.

Saya, dalam kapasitas sebagai Ketua Umum Asosiasi Guru PPKn Indonesia (AGPPKnI) tentu menyesalkan dan menilai pemerintah ceroboh dan gegabah.

Untuk itu saya mendesak agar pemerintah segera merevisi PP tersebut dan kembali mencantumkan Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai mata kuliah wajib, karena hal ini sejalan dengan UU No 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi.

PP 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan nampaknya memang hanya mengacu pada UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Pedahal dalam Pasal 1 ayat 2 berbunyi: Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.

Baca Juga:  Potensi Politik Uang dan Ancaman Kecurangan Pada Pilkades Serentak Tahun 2021 di Kabupaten Lebak

Dari Pasal 1 ayat 2 ini ada 4 kata kunci dasar pendidikan nasional yaitu Pancasila, UUD 1945, Nilai-nilai Agama dan Kebudayaan Nasional. Empat hal pokok ini mestinya menjadi muatan wajib dalam kurikulum pendidikan nasional.

Namun ketika melihat Pasal 37 UU 20 tahun 2003 berbunyi:
(1) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:
a. pendidikan agama;
b. pendidikan kewarganegaraan;
c. bahasa;
d. matematika;
e. ilmu pengetahuan alam;
f. ilmu pengetahuan sosial;
g. seni dan budaya;
h. pendidikan jasmani dan olahraga;
i. keterampilan/kejuruan; dan
j. muatan lokal.
(2) Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat:
a. pendidikan agama;
b. pendidikan kewarganegaraan; dan
c. bahasa.

Jadi memang tidak secara ekspilist tertulis kata Pancasila dan Bahasa Indonesia untuk semua jenjang pendidikan dari pendidikan dasar dan pendidikan tinggi. Sedangkan dalam UU 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi pasal 35 ayat 3 berbunyi : kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat mata kuliah, diantaranya:
a. Agama;
b. Pancasila;
c. Kewarganegaraan;
d. bahasa Indonesia.

Baca Juga:  Pragmatisme Politik dan Kemenangan Petahana

Jadi masalahnya adalah apakah PP 57 ini mengacu pada UU No. 20 tahun 2003 dan mengacu juga pada UU No.12 tahun 2012 atau hanya mengacu UU No. 20 tahun 2003 saja. Seandainya PP 57 ini hanya mengacu UU No. 20 Tahun 2003 mestinya Pasal 1 ayat 2 UU No. 20 Tahun 2003 dijadikan acuan dalam kaitan dengan pasal kurikulum di PP 57 ini bukan hanya melihat pasal 35 saja dalam UU No. 20 tahun 2003.

Sejauh yang saya pahami PP 57 tahun 2021 ini pada pasal 40 ayat (2) dan (3) hanya mengacu pada pasal 37 UU No. 20 Tahun 2003 tidak mengacu pada pasal 1 ayat (2). Seandainya PP 57 tahun 2021 ini pada pasal 40 ayat (2) dan (3) mengacu juga pasal 1 ayat (2) dan ayat (35) UU 20 Tahun 2003 tidak akan menimbulkan kontroversi seperti saat ini.

Baca Juga:  Standar Ganda Fitnah

Kalau kita meliat hirarki tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana tertera dalam UU No. 12 Tahun 2011 PP tidak boleh bertentangan dengan UU karena UU kedudukannya lebih tinggi. Masa dalam UU pendidikan tinggi No. 12 tahun 2012 mata kuliah Pancasila dan Bahasa Indonesia secera eksplisit ada namun di PP tidak ada. Bisa disimpulkan bahwa PP tersebut inkonstusional.

Sebagai penegasan, mengembalikan mata kuliah Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai mata kuliah wajib tidak cukup dengan siaran pers atau pernyataan menteri.

Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan kebudayaan wajib merevisi PP 57/2021. Indonesia negara hukum (rechstaat) bukan negara kekuasaan (machstaat) segala sesuatunya harus sesuai kaidah hukum, tidak bisa hanya lewat pernyataan atau siaran pers.

Oleh: Unro, M.Pd Ketua Umum AGPPKnI (Asosiasi Guru PPKn Indonesia)