Beranda Opini

Ambil Sekedarnya Saja

Ambil Sekedarnya Saja
Foto: Ilustrasi

Pelitabanten.com – Tidak seperti biasanya malam tadi kang Fadeli secara tiba tiba mampir kerumah saya, tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia duduk di bale sambil menghisap rokok kreteknya, matanya menerawang jauh batas dinding kehiduapan wadag, seakan akan sedang melihat “sesuatu” yang sangat mengerikan diluar sana. Terlihat wajahnya penuh dengan kegelisahan, kesedihan, kekhawatiran dan kemarahan bercampur aduk menjadi satu.

Karena dari tadi saya merasa di cuekin, saya memberanikan diri menyapa beliau dengan menawarkan secangkir hitam kesukaannya.”mau kopi kang?”

“Tidak usah, saya cuma sebentar saja disini.” Jawab kang Fadeli singkat

“Maaf kang, ada gerangan apakah yang ada didalam pikiran akang, sampai terlihat sebegitu gelisahnya?” saya mencoba membuka pembicaraan, supaya suasananya lebih , dan itu pun di dorong dengan rasa keingin tahuan yang sedang difikirkan oleh kang Fadeli.

“Ah.. tidak ada apa apa, hanya pandangan subjektif saja melihat realitas yang ada, sepertinya kita ini sedang digiring ketepi jurang oleh “sesuatu” yang besar dan kuat, dan celakanya kita tidak menyadari itu.” Jawab kang Fadeli menanggapi pertanyaan saya.

Mendengar pernyataan kang Fadeli yang masih mutsyabihat seperti itu, saya tambah penasaran. “Saya masih gagal paham kang, silahkan dilanjut kalau akang berkenan menyampaikan kepada saya.”

“Begini…. Sejauh penglihatan saya yang bersifat subjektif, kita ini sedang dijadikan tim sukses oleh segelintir orang yang mengerti benar tentang nafsu yang ada didalam diri , kecendrungan nafsu itukan melayani diri sendiri, dan bersifat kesenangan yang semu, tanpa memperdulikan orang lain. Orang bekerja karena ingin memiliki keluaran terbaru katakanlah, artinya, orang yang bekerja tersebut secara tidak langsung dipaksa untuk mensukseskan target penjualan motor tersebut. Yang memaksa bukan pihak selles dari perusahaan motor, selles hanya mengenalkan produk dan mempromosikannya saja, tapi nafsu yang ada dalam dirinya yang memaksa orang tersebut harus membeli motor idamannya itu.” Jelas kang Fadeli

Baca Juga:  Tokoh Samson Ternyata Adalah Seorang Nabi

“Bukannya itu wajar kang, asalkan tidak menyalahi hukum syar’i dan kita pun membelinya secara halal dan bukan hasil mencuri?” jawab saya

“Iya benar, secara hukum tidak salah, dan itulah yang saya katakan di awal, kalau kita sedang tidak menyadari sedang digiring ketepi jurang. Makanya saya katakan di awal ini hanya pandangan subjektif dari saya pribadi” tutur kang Fadeli.

“Saya masih kurang ngeh kang, bisa lebih diperjelas lagi maksudnya?” saya mencoba menawar.

“Sepengamatan saya, nafsu kita sedang di obok obok oleh pihak tertentu yang mencari keuntungan sebesar besarnya, menawarkan produk melalu iklan di televise atau selles yang door to door ke -rumah yang memancing reaksi dari nafsu yang ada dalam diri kita. Jika nafsu kita merespon, secara otomatis kita akan mencari uang untuk membarter dengan produk yang kita inginginkan.” Kang Fadeli diam sejenak, sambil melayangkan pandang keatas, seakan akan sedang mencari sesuatu

Baca Juga:  Muhammad Bukan Simbol

“Kita ini seperti keledai penggiling gandum.” Lanjut kang Fadeli. “tiap hari berjalan dari garis start menuju garis start, kita tidak sadar, padahal kita tidak pergi kemana mana, hanya muter muter saja di sekitar penggilangan gandum.” Kang Fadeli mencoba membuat analogi supaya lawan bicaranya bisa menangkap apa yang ada dibenaknya.

“Apa hubungannya, kita dengan keledai penggiling gandum?” Tanya saya

“Keledai itu bekerja tiap hari, tapi hasil jerih payahnya menggiling, untuk pemilik pabrik gandum. Sama halnya dengan kita, kita setiap hari bekerja, hasil dari kerja kita disetorkan untuk membarter produk yang kita inginkan.”

“Apa salah kang kalau kita membeli suatu produk?”

“Tidak salah, bisa membedakan mana kebutuhan dan mana keinginan.” Celetuk kang Fadeli

“Maksudnya?” sela saya

“Jadi ingat lagu bang , yang liriknya, keinginan sumber dari penderitaan. Keinginan itu identik dengan nafsu, semakin besar keinginan kita, maka penderitaan pun akan semakin besar yang kita alami. Setahu saya kalau hanya sekedar kebutuhan hidup, rasanya tidak perlu sampai harus banting tulang kerja siang malam. Contohnya kita makan, asalkan apa yang kita makan halal dan bisa menjaga metabolisme tubuh dengan baik itu sudah cukup, kalau bicara masalah rasa makanannya itu sudah lain cerita. Kebutuhan itu terbatas, sedangkan keinginan tanpa batas, senikmat nikmatnya makanan, pasti lambung kita terbatas untuk menampungnya, tapi kalau keinginan, saya kira tidak akan terbatas” kata kang Fadeli

Baca Juga:  Haji Mabrur Haji Mabur

“Jadi maksudnya kita hidup sesuai kebutuhan saja?” saya mencoba menyimpulkan

“Ya! Kalau di dunia sufi namanya zuhud. Dalam kitab nashoihul ibad, zuhud di jelaskan dengan mengambil dunia sekedarnya saja. Bukan menimbun nimbun dunia untuk disertifikasi hak kepemilikannya. Nah orang yang meniatkan untuk zuhud dalam kehidupan ini, saya kira akan “merdeka” dari kapitalisasi nafsu yang di sodorkan di hadapan kita, tidak jadi menusia keledai penggiling gandum dan terlepas dari perangkap reaksi nafsu yang mengakibatkan kita ikut tergiring ketepi jurang.” Jelas kang Fadeli

“Kalau ditarik kesimpulan kang?” Tanya saya

“Cobalah sesekali menjaga jarak dari dunia, menjauh sebentar dari gemerlapnya, supaya gambaran dunia itu jelas terlihat seperti apa. Kalau kita melihat sebuah objek gambar terlalu dekat dengan mata kita, visualisasi objek tersebut tidak akan terlihat, coba kita jauhkan objeknya, nanti jelas terlihat objek gambar apa yang ada dilembaran kertas tersebut. Setelah jelas maka bersikaplah sesuai apa yang kita lihat. Sekali lagi itu hanya subjektifitas pendapat saya saja.” Kemudian kang Fadeli ngeluyur pergi begitu saja tanpa pamit.

Narasumber: Ubaidillah