Pelitabanten.com – Ikrar sumpah pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 menunjukkan eksistensi ditetapkannya bahasa Indonesia sebagai bahasa negara atau bahasa persatuan seluruh bangasa Indonesia. Saat itu Muhammad Yamin mengusulkan agar bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan. Bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa persatuan bangsa Indonesia karena bahasa Melayu mudah diterima oleh masyarakat nusantara sebagai bahasa perhubungan antarpedagang, antarpulau, antarsuku bangsa dan antarkerajaan dikarenakan bahasa Melayu tidak mengenal tingkat tutur.
Tahun 1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia. Beliau adalah ketua angkatan sastrawan muda atau yang dikenal pujangga baru yang berdiri pada tahun 1933. Tahun 1938 dilangsungkannya kongres Bahasa Indonesia I di Solo Jawa Tengah. Dalam kongres tersebut Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa bahasa Indonesia adalah dialek baku dari bahasa Melayu yang sumbernya dari bahasa Melayu Riau.
Tahun 1947 diresmikan penggunaan ejaan Republik sebagai pengganti Ejaan Van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya. Tahun 1954 diselenggarakan kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Kongres tersebut merupakan wujud tekad bangsa Indonesia untuk terus menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai bahasa kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa negara.
Undang-undang no 24 tahun 2009, tentang bendera, bahasa, lambang kenegaraan, serta lagu kebangsaan Indonesia raya, Bab III pasal 45 bahwa lembaga yang menangani kebahasaan di Indonesia adalah Badan Pengembangan dan Pembinaaan Bahasa ( Badan Bahasa).
Badan Pengembagan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) merupakan instansi pemerintah yang tergolong unit utama eselon I di bawah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Badan Bahasa ditugasi oleh pemerintah untuk menangani masalah kebahasaan dan kesastraan di Indonesia.
Bahasa adalah sumber daya bagi kehidupan bermasyarakat. Kita berhasil dalam belajar atau memberi bimbingan, penyuluhan, berdagang, berniaga misalnya, apabila kita dapat memahami orang lain dan membuat orang lain memahami kita.
Saling memahami dan saling mengerti erat berhubungan dengan penggunaan sumber daya bahasa yang kita miliki. Kita dapat memahami orang lain dengan baik apabila kita mendengarkan dengan baik, apa yang dikatakan orang lain.
Penggunaan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi sosial terdapat tiga komponen yang saling berhubungan, yang pertama adalah penggunaan bahasa, yang sesungguhnya oleh masyarakat umum. Yang kedua, tata bahasa yang bersumber pada kenyataan penggunaan bahasa oleh masyarakat dan mencatat cara-cara yang dimungkinkan dalam mengatakan sesuatu. Yang ketiga adalah seni berbahasa atau retorika mencari cara terbaik di antara cara-cara yang dimungkinkan dalam tata bahasa.
Penggunaan Bahasa Indonesia di era sekarang ini nampaknya sudah mulai terkikis. Meskipun Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa telah hadir di tengah masyarakat, khususnya masyarakat di dunia pendidikan, namun tetap saja bahasa Indonesia belum sempurna diaplikasikan.
Contoh konkret terkikisnya bahasa Indonesia yang sering digunakan dalam dunia pendidikan maupun akademis adalah istilah penggunaan kata absen, praktek, legalisir. Istilah kata “absen” yang sering digunakan mengandung arti tidak hadir, bolos. Namun yang dimaksud oleh masyarakat pengguna bahasa adalah hadir (ada), hal ini merupakan ketidaktepatan dalam penggunaan bahasa Indonesia yang benar. Kemudian istilah kata “praktek” yang seharusnya praktik, bagian pengajaran dalam keadaan nyata disebut dengan praktikum. Lalu kata “legalisir” yang seharusnya legalisasi, dikarenakan dalam bahasa indonesia menerima imbuhan -sasi,-isasi.
Adapun terkikisnya bahasa Indonesia dari segi penggunaan bahasa, tata bahasa, dan seni berbahasa mestinya harus dicegah sedini mungkin, lebih khusus oleh pengguna bahasa di dunia pendidikan, baik guru dan murid, dosen dan mahasiswa. Agar pengguna bahasa di luar dunia pendidikan tidak mengikutinya sehingga keutuhan dan kebenaran bahasa Indonesia terjaga. Mari budayakan berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
Penulis: Arif Khamdi (Guru)