Beranda Opini

Etika dan Netralitas Aparatur Sipil Negara

Aparatur Sipil Negara
ILUSTRASI (Foto: sscasn.bkn.go.id)

– Topik tentang etika dan netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) penting diingatkan kembali ketika media sosial masih saja ramai dengan artefak sisa-sisa perlombaan politik pada periode yang lampau. Justru dengan makin maraknya penggunaan medsos, aturan dan etika tentang netralitas ASN perlu ditulis kembali, sebagai pengingat bagi ASN dan informasi bagi masyarakat selaku stakeholders dari para ASN tersebut.

Ketentuan Yang Berlaku

Mari kita mulai dengan membahas ketentuan pada level undang-undang. Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara pada Pasal 2f disebutkan adanya asas netralitas. Asas tersebut  bermakna bahwa “setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada siapapun”. Selain itu, pada Pasal 3a disebutkan prinsip kode etik dan kode perilaku sebagai salah satu landasan ASN sebagai profesi. Tentunya asas netralitas dan prinsip kode etik dan kode perilaku tersebut perlu dipahami dalam konteks tiga fungsi ASN, yaitu sebagai pelaksana kebijakan publik, pelayan publik, serta perekat dan pemersatu bangsa.

Dalam konteks sebagai pelaksana kebijakan publik, ASN berperan dalam pelaksanaan kebijakan tugas pemerintahan dan tugas pembangunan . Sebagai pelayanan publik, ASN harus mampu memberikan pelayanan yang profesional, bebas dari intervensi politik, serta bebas dari KKN. Dalam tugas sebagai perekat dan pemersatu bangsa, netralitas menjadi salah satu prasyarat untuk melaksanakan fungsi perekat dan pemersatu tersebut. Indonesia sebagai negara yang majemuk dari segi suku, agama, ras, dan golongan; mengalami dinamika dalam hubungan antar kelompok-kelompok tersebut, dengan ASN diharapkan berperan sebagai katalis membangun hubungan yang harmonis sebagai warga bangsa.

Selanjutnya, pada level Peraturan Pemerintah (PP), terdapat PP Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS dan PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang PNS. Dalam PP Nomor 42 Tahun 2004, disebutkan salah satu nilai dasar PNS adalah profesionalisme, netralitas, dan mempunyai standar moral yang tinggi. Dalam melaksanakan tugas kedinasan serta dalam kehidupan sehari-hari, PNS diharapkan berpedoman pada etika, yang meliputi etika dalam bernegara, etika dalam berorganisasi, etika bermasyarakat, etika terhadap diri sendiri, dan etika sebagai ASN. Salah satu poin dalam etika bernegara adalah menjadi perekat dan pemersatu bangsa dan NKRI.

Dalam PP 53 Tahun 2010, PNS antara lain wajib setia dan taat kepada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan pemerintah. PNS juga wajib mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan. Selain itu, dalam Pasal 4, disebutkan bahwa PNS dilarang memberikan dalam kontestasi presiden/wakil presiden, kepala daerah/wakil kepala daerah, anggota , , dan DPRD. Larangan keterlibatan PNS dalam kontestasi politik tersebut agar tidak terjadi penyalahgunaan fasilitas publik atas kepentingan golongan tertentu serta menjaga netralitas PNS sebagai disebutkan sebelumnya.

Kode Etik Instansi

Sebagai tindak lanut atas PP 42 Tahun 2004, disusun kode etik instansi dan kode etik profesi. Dalam kaitan dengan kode etik instansi, kementerian-kementerian telah menetapkan kode etik untuk PNS atau ASN di lingkungan kementerian tersebut. Sebagai contoh, terdapat Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 008 Tahun 2012 tentang Kode Etik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Kementerian Kesehatan. Pada Kementerian Dalam Negeri berlaku Permendagri Nomor 15 Tahun 2020 tentang Kode Etik Aparatur Sipil Negara di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri. Dalam Permendagri 15/2020 disebutkan bahwa kode etik ASN berpedoman pada Panca Prasetya Korpri yang kemudian dijabarkan sebagai etika dalam bernegara, etika dalam berorganisasi, etika bermasyarakat, etika terhadap diri sendiri, dan etika sebagai ASN.

Sebagai contoh lain, pada Kementerian dan , kode etik dan kode perilaku pegawai diatur dalam Peraturan Menteri Nomor 48 Tahun 2020. Dalam ketentuan tersebut, kode etik merupakan integrasi dari berbagai nilai, yaitu integritas, kreatif dan inovatif, inisiatif, pembelajar, meritokrasi, terlibat aktif, dan tanpa pamrih. Dalam nilai integritas disebutkan adanya dua perilaku yang relevan dengan topik tulisan ini, yaitu: (1) menjaga independensi dari potensi benturan kepentingan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi, serta (2) menggunakan sosial media dengan bijak.

Kementerian Keuangan juga telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 190/PMK.01/2018 tentang Kode Etik dan Kode Perilaku Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Kementerian Keuangan. Sebelumnya, pada tahun 2011 terdapat Keputusan Kementerian Keuangan Nomor 312/KMK.01/2011 tentang Nilai-nilai Kementerian Keuangan, yang menetapkan lima nilai yaitu integritas, profesionalisme, sinergi, pelayanan dan kesempurnaan. Lima nilai tersebut kemudian ditegaskan lagi dalam PMK 190/PMK.01/2018 dan diperinci dengan contoh perilaku pada setiap nilai.

Sebagai ilustrasi, dalam kaitan dengan topik tulisan ini, dalam Kode Etik dan Kode Perilaku PNS Kemenkeu, pada nilai integritas terdapat pedoman perilaku untuk (1) menghindari konflik kepentingan pribadi, kelompok, maupun golongan, (2) bersikap netral dalam pemilihan Calon Presiden dan Wakil Presiden, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, serta Anggota Legislatif Pusat dan Daerah, serta (3) menggunakan media sosial dengan bijak.

Dalam nilai profesionalisme terdapat pedoman untuk mengutamakan kepentingan bangsa dan organisasi di atas kepentingan pribadi. Pada nilai sinergi terdapat pedoman untuk: (1) menghormati dan menghargai perbedaan latar belakang, ras, warna kulit, agama, asal-usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur atau kondisi kecacatan serta (2) tidak memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. Selanjutnya, dalam nilai perilaku pelayanan, ASN diharapkan tidak membeda-bedakan dan bersikap adil dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Bijak Bermedsos

Dalam contoh-contoh kode etik yang disebutkan terdahulu, kode etik Kemendikbudristek dan kode etik Kemenkeu khususnya pada nilai integritas menyebutkan perilaku penggunaan medsos dengan bijak. Kondisi ini semakin penting ketika kondisi Covid-19 yang memaksa bekerja dan bersekolah dari rumah sehingga interaksi dengan gadget (dan tentu saja dengan medsos) menjadi tidak terelakkkan.

Berdasarkan data We Are Social, Indonesia menempati peringkat kesembilan dari 47 negara sebagai pengguna setia medsos. Dengan pengguna medos sejumlah 61,8 persen dari jumlah penduduk, medsos seperti pedang bermata ganda. Jika medos digunakan sebagai alat komunikasi yang baik tentu bisa menyebarkan informasi ke sebagian besar penduduk; tetapi sebaliknya jika digunakan dengan tidak semestinya kemungkinan daya rusaknya juga luar biasa. Dalam hal ini ASN dapat memainkan peran untuk perperilaku bijak di medsos sesuai dengan kode etik dan kode perilaku yang ditetapkan. Kealpaan untuk menetapi hal tersebut bisa-bisa harus dibayar dengan mahal.

Akhmad Solikin, SE, MA, PhD, CAPenulis: Akhmad Solikin, SE, MA, PhD, CA (Dosen Politeknik Keuangan Negara STAN)