Pelitabanten.com – Menjadi kepala pemerintahan baik daerah maupun pusat mengharuskannya untuk terampil dalam memproduksi ujaran. Masyarakat dapat menilai karakter pemimpin dari bagaimana ia memproduksi kata demi kata. Tidak sedikit masyarakat akan memberikan apresiasi atas ujaran yang diproduksi, namun akan banyak pula masyarakat yang akan menghujat atau mengolok-olok kualitas seorang pemimpin dari ujaran yang diproduksinya. Salah satu kasus yang menimbulkan polemik perdebatan di masyarakat adalah pernyataan presiden Joko Widodo yang menyebutkan mudik dan pulang kampung memiliki makna yang berbeda.
Atas pernyataannya itu munculah perdebatan dari dua sisi yang berbeda. Di satu sisi banyak masyarakat yang mengomentarinya dengan menyebutkan bahwa mudik dan pulang kampung memiliki makna yang sama bahkan banyak pula yang membuat meme-meme sindiran. Di sisi yang lain tidak sedikit masyarakat yang paham maksud ujaran Presiden ke-7 tersebut dengan menganggap mudik dan pulang kampung memiliki makna yang berbeda tergantung konteks penggunaanya. Para pakar yang ahli di bidang bahasa juga turut buka suara atas perdebatan ini. DR. Devie Rahmawati, dosen dan peneliti tetap program vokasi humas Universitas Indonesia menyebutkan bahwa mudik menjadi dekat dengan tradisi para migran yang kembali ke kampung setahun sekali dan biasanya bertepatan dengan perayaan hari keagamaan seperti Lebaran. Sedangkan pulang kampung dapat dilakukan tidak hanya setahun sekali. Lebih lanjut Hilmi Akmal, pakar bahasa dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyebutkan bahwa pernyataan Joko Widodo membuat kedua kata yang sama makna ini menjadi rancu karena kegiatan kembali ke kampung halaman, baik pada saat Lebaran atau bukan, adalah mudik alias pulang kampung. Pernyataan presiden dengan sapaan Jokowi ini tidak lain dan tidak bukan merupakan himbauan kepada masyarakat untuk tidak bepergian ke kampung halaman selama peringatan hari raya idul fitri karena dapat menimbulkan klaster baru penyebaran corona virus disease (Covid-19). Seperti yang kita ketahui bahwa mudik merupakan tradisi tahunan masyarakat Indonesia di bulan suci ramadhan untuk bertemu sanak sodara dalam menyambut hari raya idul fitri.
Tak habis dengan perdebatan yang sempat menghangatkan hingar bingar media sosial atas pernyataan Presiden RI Joko Widodo di acara Mata Najwa pada Rabu 22 April 2020 yang menyebutkan mudik dan pulang kampung memiliki makna yang berbeda, kini muncul kembali perdebatan atas ujaran gubernur Anies Baswedan mengenai kematian dan meninggal.
Pernyataan gubernur Anies Baswedan yang menyebutkan tingkat kematian akibat Covid-19 di DKI Jakarta turun sementara yang meninggal justru meningkat menarik perhatian publik. Banyak pengguna media sosial yang membahas, memperjelas, bahkan dari ujarannya itu Anies mendapatkan julukan sebagai gubernur yang ahli dalam tata kata. Kata kunci kematian dan meninggal menjadi perhatian publik setelah gubernur DKI Jakarta tersebut melakukan konferensi pers yang dilakukan secara virtual dari Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, pada Minggu 13 September 2020.
Tidak sedikit masyarakat yang merasa kebingungan dengan makna dari ujaran tersebut. Lalu bagaimana semantik sebagai bagian studi yang fokus pada tataran linguistik memandang fenomena tersebut.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kematian berarti perihal mati atau menderita karena salah seorang meninggal. Sedangkan meninggal berarti mati atau berpulang. Kematian termasuk dalam kata kerja verba dan meninggal dikategorikan dalam nomina.
Semantik (semantics) adalah bidang linguistik yang mengkaji arti bahasa (Subuki, 2011: 4). Semantik merupakan bidang studi linguistik yang mempelajari persoalan arti dan bagaimana arti tersebut dibentuk. Semantik objek studinya adalah arti bahasa, sehingga dapat disebutkan bahwa semantik sebagai ilmu yang mempelajari arti dari setiap komponen yang turut membentuknya (morfem, kata, frasa, dan klausa).
Dalam bahasa, terdapat kata-kata yang berbagi makna yang sama atau kita mengenalnya dengan istilah sinonimi. Lingkup pemakaian kata-kata yang bersinonimi memiliki keterbatasan yang menurut Cruse terbagi menjadi dua keterbatasan, yaitu seleksional dan kolokasional (Subuki, 2011: 82).
Keterbatasan seleksional (selectional restrictions) mengacu kepada keterbatasan kata untuk dapat menggantikan kata sinonimnya dalam konstruksi yang lebih besar atas pertimbangan logis atau kesesuaian. Kata meninggal dan kematian pada kasus ujaran Anies di atas misalnya, adalah sinonimi. Dalam kaitannya dengan kata tingkat, penutur dapat mengatakan tingkat kematian tetapi tidak tingkat meninggal. Pertimbangan yang penutur gunakan dalam memilih kata kematian atau meninggal untuk disandingkan bersama kata tingkat lebih didasari atas pertimbangan logis atau kesesuaian. Hal ini berbeda dengan keterbatasan kolokasional (collocational restrictions) yang mengacu kepada keterbatasan kata untuk menggantikan kata sinonimnya dalam konstruksi yang lebih besar atas pertimbangan kesopanan. Dalam kaitannya dengan orang yang, penutur dapat mengatakan orang yang meninggal tetapi tidak orang yang kematian atau orang yang mati. Pertimbangan yang penutur gunakan dalam memilih kata kematian atau meninggal untuk disandingkan bersama orang yang lebih didasari atas pertimbangan kesopanan. Contoh lain dari keterbatasan seleksional adalah dalam kaitannya dengan kata mesin, penutur dapat mengatakan mesin mati daripada mesin meninggal. Sedangkan contoh lain dari keterbatasan kolokasional adalah dalam kaitannya dengan kata ayam dan siswa. Penutur akan mengatakan ayam mati dan siswa meninggal, daripada ayam meninggal dan siswa mati.
Kemudian untuk memahami arti, dalam semantik perlu memperhatikan arti komponen pembentuk, bagaimana arti tersebut dibentuk oleh arti komponen pembentuk kalimat (klausa, frasa, kata, dan morfem), dan hubungan antarkomponen tersebut (Subuki, 2011: 6). Oleh sebab itu penting bagi pembaca atau pendengar untuk memperhatikan ujaran atau kalimat secara keseluruhan agar tidak ada disinformasi atau gagal mendapatkan informasi yang sesungguhnya dari penutur. Sebagai contoh dapat kita lihat ujaran penjelasan dari Anies berikut.
“Tingkat kematian itu artinya angka statistiknya, persentase yang meninggal, jumlah orang yang meninggal dibagi jumlah kasus memang menurun, tingkat kematian, tapi nominalnya jumlah orang yang meninggalnya mengalami peningkatan yang cukup tinggi”.
Ujaran di atas dengan jelas memberikan penjelasan yang menunjukan bahwa kata kematian dan meninggal memiliki arti atau makna yang berbeda sesuai dengan pembentuk komponen kalimatnya. Kata meninggal menunjukan informasi jumlah korban meninggal akibat Covid-19 cenderung meningkat. Namun kata kematian menunjukan informasi korban cenderung menurun, ini dibuktikan dari statistik keseluruhan menunjukan presentase kematian yang menurun.
Bagaimanapun sebagai warga negara yang tinggal di wilayah hukum Indonesia, kita diharapkan menggunakan bahasa Indonesia yang baik. Agar lawan komunikasi atau lawan tutur dapat mengetahui maksud dari tuturan yang diproduksi dan menghindari adanya mispersepsi dan disinformasi. Terlebih bagi kepala pemerintahan atau publik figur lainnya untuk memproduksi ujaran dengan baik. Karena setiap ujaran yang diproduksi dapat menyebabkan perhatian publik dengan persepsi yang beragam.
Pustaka:
Subuki, Makyun. 2011. Semantik: Pengantar Memahami Makna Bahasa. Jakarta: Transpustaka.
Penulis: Yulyan Iftanurohman (Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)