Pelitabanten.com – Perang dagang tengah berlangsung selama 16 bulan, tepatnya sejak Maret 2018. Polemik tarif dagang dirasa merugikan pihak Amerika Serikat (AS) karena terlalu mahal dan curang. Sekarang suasana pasar global berada di ambang penuh risiko. Terlebih lagi, negosiasi dagang AS-Tiongkok mempengaruhi kondisi nilai tukar uang di Indonesia. Terhitung pada Senin (11/11) nilai tukar rupiah menunjukkan Rp14.029 per dolar AS, dimana nilai ini melemah 0.11% bila dibandingkan dengan penutupan perdagangan kemarin (Thertina, 2019).
Pelemahan nilai rupiah beriringan dengan merosotnya harga minyak mentah dunia pada perdagangan Selasa (12/11). Hal ini diduga karena ketidakpastian hasil negosiasi dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok serta meningkatnya jumlah pasokan minyak dunia pada tahun depan seiring perlambatan ekonomi global.
Kelebihan pasokan minyak dunia diperkirakan akibat permintaan minyak dunia yang kian menurun. Sebab perang dagang AS-Tiongkok mengakibatkan perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia.
Perlambatan ekonomi global berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Situasi ini bisa ditakar dari nilai keseimbangan neraca migas Indonesia. Berdasarkan lansiran dari (Basith, 2019), dikabarkan nilai impor migas Indonesia per September 2019 mencapai US$ 15,86 miliar. Sedangkan ekspor migas hanya senilai US$ 9,42 miliar. Artinya, neraca migas Indonesia masih defisit US$ 6,44 miliar.
Harga minyak dunia tidak hanya melemah pada September 2019, namun Oktober 2019 juga demikian. Menurut (Setiawan, 2019) Harga rata-rata minyak mentah utama di pasar global pada Oktober 2019 melemah dibandingkan September 2019.
Implikasinya, rata-rata harga minyak mentah Indonesia (ICP) juga melemah, nilainya turun dari US$ 60,84 per barel pada Oktober 2019 menjadi US$ 59,82 per barel pada Oktober 2019. Nilai ICP turun sebanyak US$ 1,02. Ditambah lagi, berdasarkan laporan International Energy Agency (I (Coudert, et al., 2009)EA), stok minyak mentah mencapai rekor lebih dari 3 juta barel serta tambahan stok dari negara-negara anggota IEA sebesar 1,6 juta barel pada Oktober 2019.
Secara garis besar, penurunan harga minyak Indonesia yang terjadi pada Oktober 2019 terjadi karena ada jaminan pasokan minyak mentah global (security of supply) seiring meningkatnya stok minyak mentah komersial negara-negara OECD.
Menurut (Coudert, et al., 2009), penurunan harga minyak disebabkan oleh permintaan dan pasokan terhadap minyak. Permintaan konsumen terhadap minyak bergantung pada harga minyak di masing-masing negara konsumen, dimana harga ini berubah seiring fluktuasinya nilai kurs rupiah terhadap dollar. Artinya semakin tinggi nilai kurs rupiah terhada dollar, semakin sedikit permintaan Indonesia terhadap minyak global.
Pasokan minyak juga akan berefek terhadap penurunan harga minyak global. Perusahaan minyak pada umumnya menggunakan nilai dollar dari AS untuk membayar pekerja, pajak, dan pengeluaran lainnya.
Aktivitas pengeboran minyak juga mempengaruhi harga minyak. Ketika harga minyak meningkat, sumur minyak yang susah dieksploitasi akhirnya menjadi nilai profit tersendiri dan jumlah produksi minyak dunia bertambah. Sehingga banyak pasokan minyak akan menurunkan permintaan Indonesia terhadap minyak dunia.
Anehnya, OPEC memproyeksikan lima tahun ke depan suplai minyak akan bekurang. OPEC dan Rusia juga menyepakati akan memangkas produksi minyak sebesar 1,2 juta barel per hari sampai Maret 2020, walau kebijakan ini masih berada dalam ambang ketidakpastian (Iskana, 2019).
Harga minyak Indonesia memang komersial. Tarif ini mengikuti kondisi perekonomian pasar global. Kelebihan pasokan minyak dunia yang diakibatkan ketidakpastian kesepakatan antara perang dagang AS-Tiongkok mengakibatkan penurunan permintaan minyak Tentu ketidakpastian perjanjian AS-Tiongkok mengakibatkan harga minyak Indonesia yang tidak stabil akan mengakibatkan terjadinya penggelembungan ekonomi atau bubble economy di Indonesia.
Bubble economy adalah produk dengan kata lain minyak yang diperdagangkan memiliki harga yang lebih tinggi daripada nilai sesungguhnya. Bubble economy bisa saja negatif jika harga minyak berada dibawah harga ekonomi yang seharusnya. Hal demikian terjadi karena meningkatnya pesimisme dan larinya investor dari pasar global (Fantazzini, 2016). Sebagai contoh, harga minyak dunia pada 2014 ambruk karena nilai kurs Euro terhadap dollar yang menyusut.
Menanggapi tarif minyak Indonesia yang cenderung volatil, maka diperlukan penetapan harga minyak. Bila saja harga gas yang meningkat bertentangan dengan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi, maka harga minyak juga perlu difiksasi.
Caranya adalah dengan menyusun ketetapan hukum terkait penetapan harga minyak secara periodik dan mengusahakan tergapainya ICP pada 2020 dengan kisaran US$60-US$70 per barel. Tentu penetapan harga minyak perlu disiasati mengingat tantangan global yaitu konflik perang dagang AS-Tiongkok yang bisa saja sewaktu-waktu mengubah harga minyak yang telah ditetapkan.
Daftar isi:
Basith, A., 2019. Jokowi Perintahkan Menteri ESDM Arifin Tasrif Optimalkan EBT Demi Tekan Impor Migas. [Online]
Available at: amp,kontan,co,id/news/jokowi-perintahkan-menteri-esdm-arifin-tasrif-optimalkan-ebt-demi-tekan-impor-migas
[Accessed 12 November 2019].
Coudert, V., Mignon, V. & Penot, A., 2009. Oil Prices and the Dollar. Energy Studies Review, 15(2), pp. 1-20.
Fantazzini, D., 2016. The Oil Price Crash in 2014/15: Was There a (Negative) Financial Bubble. Moscow, Munich Personal RePEc Archive.
Iskana, R., 2019. Stok Kilang AS Bertambah, Harga Minyak Kembali Melemah. [Online]
Available at: katadata,co,id/berita/2019/11/06/stok-kilang-as-bertambah-harga-minyak-kembali-melemah
[Accessed 12 11 2019].
Setiawan, V. N., 2019. Imbas Perang Dagang, Harga Minyak Indonesia Oktober Turun jadi US 59. [Online]
Available at: amp,katadata,co,id/berita/2019/11/07/imbas-perang-dagang-harga-minyak-indonesia-oktober-turu
[Accessed 12 11 2019].
Thertina, M. R., 2019. Optimisme AS-Tiongkok Dorong Penguatan Dolar AS, Rupiah Melemah. [Online]
Available at: katadata,co,id/berita/2019/11/05/optimisme-as-rupiah-melemah
[Accessed 13 11 2019].
Penulis: Habibah Auni (Activist/Writer) Mahasiswa Universitas Gajah Mada