Oleh:
Ocit Abdurrosyid Siddiq
(Komisioner Bawaslu Provinsi Banten 2018-2023)
Akhirnya, pemerintah dengan DPR, dan penyelenggara Pemilu bersepakat, bahwa hari H pemilihan dan pencoblosan Pemilu Serentak yang akan datang, ditetapkan pada Hari Rabu, 14 Februari 2024.
Kesepakatan itu terwujud dengan mulus. Tanpa perdebatan alot, apalagi aksi walk out. Pemerintah mengusulkan, DPR mengiyakan, penyelenggara menyatakan kesiapan. Genderang pesta demokrasi siap digaungkan.
Pasca hari H diputuskan, hampir tiada penolakan dari publik. Sebaliknya, banyak dukungan. Rupanya, dukungan itu bukan semata karena -antara lain- waktunya masih panjang. Tetapi juga karena momentum hari H itu.
Ya, 14 Februari biasanya dirayakan oleh sebagian dari kita sebagai hari kasih sayang. Lebih dikenal dengan sebutan Valentine Day. Hari yang dimaknai sebagai waktunya untuk merayakan kasih sayang. Kasih sayang sama sesama.
Terlepas dari polemik kita terhadap Valentine Day; bahwa ada yang menyoal kebiasaan itu bersumber dari tradisi agama tertentu, yang kemudian menuai resistensi, penetapan waktu pencoblosan itu ada hikmahnya.
Dalam Pemilu ada kampanye. Dalam kampanye ada adu visi, misi, dan program kerja. Ada kompetisi. Kompetisi ini kadang kurang sehat; bukannya menyajikan program unggulan sendiri, malah menyoal kelemahan program orang lain.
Kompetisi kurang sehat ini kadang masuk pada situasi rentan. Bukan hanya bersaing dan saling mencari celah salah lawan, bahkan juga terjadi pergesekan fisik. Ribut, rusuh, yang berujung pada amuk masa dan kerusuhan.
Sebagai konsekuensi logis dari sistem proporsional terbuka, persaingan bukan hanya terjadi antara satu partai politik dengan partai politik lain. Model ini memungkinkan persaingan juga terjadi dalam internal satu partai.
Tak jarang, muncul sengketa yang melibatkan calon anggota dewan dari partai politik yang sama. Saling lapor dan saling gugat. Lapor dan gugat ke Bawaslu, Pengadilan Tata Usaha Negara, hingga ke Mahkamah Konstitusi.
Saya punya pengalaman ketika menjadi Komisioner Panwaslu Kabupaten Tangerang pada tahun 2014. Saat itu, pengawas Pemilu tingkat kabupaten masih ad hoc, belum permanen. Ketika itu mengawal perhelatan Pileg dan Pilpres 2014.
Suatu hari, pasca pemungutan dan penghitungan suara, kantor kami didemo masa. Masa ini dimobilisasi oleh calon anggota dewan. Yang bersangkutan tidak terpilih sebagai peraih suara terbanyak dari parpolnya, dan dari daerah pemilihannya.
Dia dan masa yang dibawanya meminta Panwaslu membatalkan perolehan suara rekannya dalam satu partai politik, dan satu daerah pemilihan itu, yang adalah seorang perempuan. Dalihnya, melakukan kecurangan.
Bayangkan, perseteruan terjadi justeru dengan kawan sendiri. Ironisnya, caleg perempuan itu semula diajak dan “dipasang” olehnya hanya dalam rangka pemenuhan persyaratan 30 % keterwakilan perempuan, sebagaimana amanat undang-undang.
Pemilu dengan model proporsional terbuka, juga memungkinkan pendatang baru dan populer, serta memiliki persediaan “gizi” yang kuat, bisa mengalahkan kader partai politik yang meniti karirnya dari bawah. Ini juga berpotensi menuai polemik dan konflik.
Pemilu -yang didalamnya juga ada Pilpres- memungkinkan pergesekan antara para pendukung. Masyarakat dan pemilih terbelah dan terpecah. Hoax bertebaran. Sara bermunculan. Karena beda pilihan, keluarga, kerabat, dan tetangga bermusuhan.
Walau pemerintah, DPR, dan penyelenggara Pemilu saat menetapkan hari H pada 14 Februari -yang adalah hari kasih sayang- tidak “terbersit” dimaksudkan agar pelaksanaan Pemilu yang aman, lancar, dan damai, semoga saja demikian.
Berharap, muruwah Valentine Day memberikan warna pada pelaksanaan Pemilu. Bukan hanya pada hari H nya saja. Tetapi juga seluruh tahapan mulai perencanaan hingga seluruh rangkaian pesta demokrasi ini selesai.
Bersaing dan berkompetisi dalam bingkai kasih dan sayang. Memilih dengan kasih, mencoblos dengan sayang. Dengan begitu, tugas-tugas kami pun terbantu sebagai pengawas Pemilu. Mari, bersama rakyat awasi Pemilu. Bersama Bawaslu, tegakkan keadilan Pemilu.