Pelitabanten.com – Dunia kembali diguncangkan oleh bencana kemanusiaan yang menimpa di Gaza. Jumat (15/11), Israel kembali menyerang Militan Jihad Islam di Gaza. Padahal sebelumnya telah disepakati gencatan senjata antara pihak Israel dengan Gaza. Namun serangan udara yang diluncurkan oleh Israel diduga sebagai bentuk pembalasan Israel terhadap Gaza, karena Gaza memulai serangan terlebih dahulu (Christiastuti, 2019).
Kini, Gaza sudah mengalami lebih dari 70 kali serangan dan pengeboman. Serangan dari Israel menewaskan 34 orang dan melukai 120 orang. Hal ini sudah menjadi bukti bahwa tindakan yang dilakukan Israel terhadap Palestina adalah bentuk kejahatan serius dan mengerikan yang pernah ada dalam sejarah manusia (Zaking, 2019).
Terlebih lagi menurut lansiran dari (Anonim, 2019), krisis kemanusiaan di Gaza adalah yang tertinggi di dunia. Krisis kemanusiaan tersebut ditunjukkan oleh data pengangguran, kemiskinan, dan polusi air di Gaza. Data pengangguran menunjukkan angka 52%, kemiskinan sebesar 53%, dan polusi air sebesar 95%.
Selain itu, terjadi pemblokadean yang dilakukan Israel terhadap Gaza sehingga memperburuk kondisi kemanusiaan di Gaza. Hal tersebut tampak dari tingkat pemadaman listrik harian, tingkat kekurangan obat-obatan, kurangnya pasokan medis, dan jumlah pemukiman yang rusak di Gaza yang nilainya masing-masing mencapai 75%, 50%, 27%, dan 77%.
Banyak organisasi kemanusiaan di dunia, seperti the United States Department of State, the International Commission of Jurists, the Palestine Human Rights Center, dan organisasi lainnya yang sudah mencatat pelanggaran kemanusiaan yang tengah diperbuat Israel terhadap Palestina. Alhasil, Israel dianggap sudah melanggar hukum hak asasi manusia internasional. Apa yang dilakukan Israel selama 51 tahun terbukti bertentangan dengan hukum hak asasi manusia internasional (Falk & Weston, 1991).
Padahal sama seperti negara pada umumnya, Israel sebagai penganut sistem demokrasi modern sangat mendukung hak asasi manusia. Hal tersebut terbukti dari hak asasi manusia di Israel pada 1992 yang tercantum dalam Hukum Dasar: Martabat Manusia dan Hukum Dasar: Kebebasan Berprofesi. Kedua hukum dasar ini memuat pokok persoalan kemanusiaan sebagai berikut: (1) martabat manusia, (2) properti, (3) privasi, (4) kebebasan berprofesi, dan (5) bebas dari ekstradisi (Barak, 2005).
Namun Israel sebagai negara yang sudah beradaulat, hanya tunduk pada hukum hak asasi manusia internasional dalam konteks kenegaraan. Tatanan politik yang terkandung dalam hukum hak asasi manusia internasional ialah quasi-kolonial, dimana Israel sebagai negara berdaulat berhak menentukan nasibnya sendiri termasuk hak asasi manusia yang nilainya universal. Hak asasi ini juga memperbolehkan negara untuk menghukum orang-orang yang dianggap menentang otoritas dirinya (Hajjar, 2001).
Akibatnya, terjadi kontradiksi dalam hukum hak asasi manusia internasional itu sendiri. Kontradiksi tersebut terjadi di antara hak-hak negara dengan hak asasi manusia. Tentu saja contoh nyata dari kontradiksi ini adalah konflik abadi antara Israel dengan Gaza.
Israel mengklaim bahwa status wilayah Gaza. Alih-alih mengakui dirinya hanya sebagai penghuni sementara negara itu, sejumlah oknum pejabat Israel malah memalsukan interpretasi asli tentang hak dan kewajiban Israel terhadap Gaza. Akibatnya, sampai detik ini Gaza terus mengalami bencana kemanusiaan dari Israel yang telah menyalahgunakan kedaulatannya atas nama kemanusiaan.
Akhirnya kita tahu bahwa hukum hak asasi manusia internasional tidak bisa menyelesaikan pertentangan dua poin kemanusiaan dalam hukum hak asasi manusia internasional, yaitu poin kebebasan negara untuk menentukan nasib sendiri dan praktik negara berdaulat.
Idealnya, semua negara menghormati hak asasi manusia yang terus digaungkan. Israel sebagai bagian dari komunitas dunia seyogyanya menaati hukum hak asasi manusia internasional yang sedang berlaku. Walau Israel telah mengedepankan hak dirinya untuk menentukan nasib sendiri, jangan sampai apa yang selama inidilakukan Israel melukai atau merebut hak menentukan nasibnya sendiri
Melihat masalah kemanusiaan yang menimpa Gaza tentu merupakan persoalan yang kompleks. Apa yang menjadi titik beratnya adalah masalah ini tidak lagi bisa dipandang ringan, mengingat masalah ini berlangsung selama bertahun-tahun dan telah menghantarkan Gaza menjadi posisi ke-1 sebagai negara dengan kondisi kemanusiaan terparah.
Hal terbaik yang mampu kita lakukan adalah berusaha untuk mendapatkan simpati dunia. Caranya dengan menunjukkan kepada khalayak bahwa Israel adalah pelaku ketidakadilan terhadap manusia. Terus berjuang menyebarkan keresahan terhadap sekitar dan membantu dengan aksi nyata terhadap Gaza.
Penulis: Habibah Auni (Activist/Writer) Mahasiswa Universitas Gajah Mada, Korps-HMI-Wati (KOHATI) Bulaksumur