Oleh:
Muhamad Japar Toha
(Ketua DPD KNPI Kabupaten Lebak)
LEBAK, Pelitabanten.com– Siapa dari kita yang hari ini pernah mendengar tentang kutipan “Man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu” yang sering kali di ucapkan oleh beberapa filsuf Islam kontemporer seperti Dr. Fahrudin Faiz dan lain-lain? Tentunya, kutipan ini sudah sangatlah tidak asing bagi kita yang hari ini sedang melakukan pencarian jati diri. Namun dalam beberapa narasi kitab klasik memang kutipan ini sering sekali disalah artikan sebagai haddist Nabi Muhammad SAW. Yang padahal, setelah beberapa para cendekiawan Islam seperti Imam An-Nawawi, Ibnu Taimiyah, Az-Zarkasyi, Ibnu Athaillah dan lain-lain beranggapan bahwa ini bukanlah haddist Nabi Muhammad SAW. Melainkan hanya ungkapan dari perkataan seorang ulama sufi yang terkenal Yahya bin Muadz Ar-Razi.
Terkait persoalan otentisitas, An-Nawawi menegaskan bahwa ungkapan itu tidak mempunyai validitas yang kuat sebagai haddist Nabi Muhammad SAW. Imam As-Sayuthi mengutip Pendapat An-Nawawi dalam karyanya Al-Hawi lil Fatawa pada sub bahasan Al-Qaulul Asybah fi Haddisti Man Arafa Nafsahu Faqad Arafa Rabbahu bahwa Imam Nawawi pernah ditanya terkait ungkapan tersebut di dalam kumpulan fatwanya, lantas ia menjawab bahwa ungkapan itu tidak mempunyai validitas sebagai hadist Nabi Muhammad SAW. (Lihat Imam As-Sayuthi, Al-Hawi lil Fatawa, Beirut, Darul Fikr, 2004,juz II, halaman 288).
Tentunya, bukan berarti saya untuk mentidak bolehkan menggunakan ungkapan tersebut. Melainkan untuk membedakan mana hadist Nabi Muhammad SAW dan mana ungkapan-ungkapan ulama. Karena khawatir kita terperangkap salah satu hadist shahihnya yang menyebutkan “Barang siapa yang berdusta atas namaku, maka hendaklah ia mempersiapkan dirinya untuk menduduki singgasananya di dalam neraka.”
Perspektif saya, mengenai ungkapan ulama sufi Yahya bin Muadz Ar-Razi tentang Man Arafa Nafsahu Faqad Arafa Rabbahu yang mana jika seseorang mengenal dirinya maka dia mengenal Tuhannya ini sangatlah dalam dari segi filosofis. Hal yang terkecil tentang peringatan untuk bagaimana kita mampu mengelola dan mengeksplorasi diri kita sendiri sebagai manusia untuk mengoptimalkan dalam pencarian jati diri. Tentunya banyak metode untuk menggali siapa sebenarnya kita dan untuk apa kita. Tentunya, kita berangkat dari tentang proses penciptaan manusia di Bumi. Yang pada substansinya manusia ini diberikan dua tugas. Yang pertama sebagai Hamba tentunya yang mana untuk beribadah dan membangun hubungan vertical bersama Tuhannya. Perintah ini sangatlah jelas jika kita mengutip QS. Az-Zariyat ayat 56 bahwa Tuhan tidak akan mencipatakn jin dan manusia melainkan agar beribadah kepadanya.
Selain mempunyai tugas sebagai hamba, tentu manusia juga diberikan tugas sebagai khalifa. Untuk kemudian agar ia bias mengatur dan mengelola juga membangun hubungan secara horizontal. Tentunya, pengaturan dan pengelolaan secara horizontal ini yang di terangkan dalam QS. Al-Baqarah ayat 30 perlu proses yang panjang untuk bias menjadi khalifa sejatinya. Maka perbedaan antara manusia satu dengan manusia lainnya bukan dengan seberapa hebat dia, seberapa besar dia. Tentunya cara membedakan manusia salah satunya perlu di bedakan dengan cara berpikirnya. Tentunya, dengan demikian kita bias membedakan mana manusia yang mendekati kekhalifahannya.
Sabrang Mowo Damar Panuluh pernah menerangkan untuk bagaimana kita mampu meningkatkan cara berpikir kita. Beliau juga menegaskan bahwa cara berpikir kita tidak bias dibedakan dengan kelas pendidikan formal kita. Sedari SD, SMP, SMA sampai perguruan tinggi. Namun ada beberapa cara berpikir kita yang perlu di tingkatkan. Yang pertama cara berpikir Deklaratif. Cara berpikir deklaratif ini menurut Sabrang adalah cara berpikir “Atau”. Yang kedua adalah cara berpikir Kumulatif. Cara berpikir kumulatif ini adalah cara berpikir yang menggunakan kata “Dan”. Kemudian yang ketiga cara berpikir Serial. Cara berpikir serial ini adalah cara yang mengunakan kata “Jika-Maka”. Dan yang terakhir adalah cara berpikir parallel atau cara berpikir yang menggunakan kata “Jika-Maka lebih banyak”.
Contoh, kamu sedang mencari uang dan Ketika kamu pulang ke kampung kamu melihat ada beberapa jenis buah-buahan. Ada jeruk, semangka, manga dan lain-lain. Kemudian, bagaimana kamu mencari uang? Itu tergantung dengan bagaimana kamu menggunakan cara berpikir kamu. Kalau kamu menggunakan cara berpikir deklaratif (atau), maka kamu hanya akan menjual salah satu buah-buahan yang ada di kampungmu. Jika kamu menggunakan cara berpikir Kumulatif (dan), maka kamu akan menjual semua buah-buahan yang ada di kampungmu. Kemudian, jika kamu meningkatkan cara berpikirmu kembali, kamu akan menggunakan cara berpikir Serial (jika-maka), cara berpikir ini membuatmu berpikir untuk melakukan kreativitas seperti mengelola buah-buahan yang ada di kampungmu menjadi parsel. Jika kamu menggiling buah tersebut maka akan menjadi jus. Yang terakhir cara berpikir Parallel (jika-maka tapi lebih banyak). Contoh cara berpikir yang terakhir ini lebih kreatif dan inovasi mengenai buah-buahan yang kamu kelola tapi lebih banyak prodak yang dihasilkan. Contoh dari buah manga digiling menjadi jus, dari buah manga di potong menjadi rujak. Artinya bisa menghasilkan lebih banyak prodak dari satu bahan. Artinya jika kita menggunakan cara berpikir parallel kita lebih terus bergerak dan berinovasi sehingga kemudian kemungkinannya lebih banyak dalam menjawab setiap trend yang beredar.
Jika semakin tinggi cara berpikir manusia maka ia semakin adaptatif terhadap keadaan. Semakin ia adaptif terhadap keadaan semakin terhidar ia dari kesulitan. Sesuai dengan apa yang di kutip dalam QS. Al-Insyarah ayat 5 bahwa bersama setiap kesulitan ada kemudahan. Ayat ini mengajarkan kita untuk lebih menggunakan cara berpikir parallel untuk lebih adaptif terhadap keadaan. Tentunya, redaksi dalam kutipan ini kemudahan tidak dating setelah kesulitan, melainkan kemudahan dating bersama kesulitan. Sehingga kita dapat merespon keadaan dengan berbagai kemungkinan pilihan untuk mengeluarkan kita dalam posisi-posisi sebagai khalifa.
Yang terakhir memang untuk menggali kemampuan, potensi, bakat dan keterampilan kita perlu diasah dengan cara terus dan menerus belajar. Agar kita mampu menghadapi tantangan zaman yang setiap tahun, bulan, hari dan detik terus berkembang. Tentunya, hal ini tidak lain dan tidak bukan untuk menjalankan tugas dan fungsi kita sebagai khalifa. Orang-orang yang akan memimpin di kemudian hari, orang-orang yang akan mengatur dan mengelola setelah orang-orang terdahulu meninggalkan tentunya, peran-peran kekhalifahan ini perlu dipersiapkan dan di pupuk sedemikian rupa dengan proses yang matang. Agar kemudian, ketika kita semua telah dihadapkan dengan kekhalifahannya mampu memberikan yang terbaik kepada seluruh alam baik manusia, alam, hewan dan semesta. Semoga dengan tulisan ini bisa bisa memancing dan memantik kita semua untuk terus berproses menuju manusia yang sejati yang diberi tugas kehambaan dan kekhalifahannya. Wallahu a’lam bish-shawab. (*)