TANGERANG, Pelitabanten.com – Siapakah manusia yang dijanjikan masuk neraka? Penggambar atau pelukis. Ada beberapa hadits yang bisa kita tengok untuk mendukung pendapat ini. Dari Jabir Radhiallahu Anhu, dia berkata: “Rasulullah Shallahu Alaihi Wasallam melarang adanya gambar di dalam rumah dan beliau melarang untuk membuat gambar.” (HR At Thirmidzi). Hadits lain mengatakan: Dari An-Nadhr bin Ans Radhiallahu Anhu berkata, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Siapa saja yang mengambar suatu gambar di dunia maka pada hari kiamat dia akan dibebankan untuk meniupkan roh ke dalamnya padahal dia tidak akan sanggup meniupkannya.” (HR al-Bukhari dan Muslim). Setidaknya ada 14 hadits yang mengharamkan lukisan dan menjanjikan neraka bagi pelukis atau penggambar. Lalu bagaimana kita perlu memosisikan lukisan atau gambar?
Para pelukis itu sesunguhnya hadir bukan sekadar untuk memberi garis pada titik, meramu warna untuk kesan, atau membentuk objek pada materi. Jika ia hanya mencapai itu semua, ia baru sekadar memberi ruang baru bagi reformasi objek.
Namun para pelukis juga bukan tuhan kecil yang mencipta objek untuk merebut fungsi penciptaan Tuhan, sehingga dalam sejumlah hadits di atas pelukis masuk ke dalam kelompok manusia yang dipastikan masuk neraka. Para pelukis di zaman jahiliyah adalah mereka yang dengan ambisinya berhasrat menirukan ciptaan Tuhan untuk menyinyir para mualaf bahwa kebesaran Tuhan tak lebih dari kebesaran dirinya. Hal ini juga terjadi bagi kalangan penyair. Bahkan di dalam al-Quran kita menemukan satu surat bernama Asy-Syu’ara (para penyair) yang di dalamnya kita menemukan satu keterangan bahwa penyair adalah kelompok manusia sesat yang menyesatkan. Di awal surat itu pun al-Quran dengan tegas membantah bahwa Muhammad SAW bukanlah seorang penyair.
Lalu di mana posisi seniman di mata Islam? Bagaimana karya-karya seni menghadapi sergapan larangan dan tabu yang ditancapkan oleh konsensus-konsensus dalam pelbagai tradisi? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, saya tentunya butuh ruang yang panjang dan lebar untuk menuliskannya.
Namun di ruang yang terbatas ini, setidaknya saya ingin menegaskan dua hal. Pertama, hadits-hadits di atas adalah hadits-hadits yang sahih dengan sanad yang jelas. Namun penting bagi semua pihak untuk kembali meninjau asbabul wurud hadits-hadits di atas, sehingga duduk perkara menjadi terang benderang. Kedua, kecaman-kecaman Islam terhadap pelukis dan penyair, sesungguhnya merupakan kecaman-kecaman terhadap kesombongan dan penyesatan yang berhilir pada syirik. Sebab syirik adalah dosa besar yang tak terampuni, larangan-larangan pun bersifat frontal dan ajeg. Maka tak tanggung, dalam hadits di atas pun ada pesan Tuhan yang dititipkan kepada Sang Nabi agar para pelukis sombong itu bisa meniupkan ruh pada lukisan-lukisannya di akhirat nanti.
Melukis tentu perlu mendapatkan sisi-sisi indah dari setiap goresan dan warna-warninya. Karena itu melukis butuh keterampilan yang khusus, yang semua orang tidak mempunyai nikmat satu ini. Bersyukurlah bagi para pelukis atas nikmat ini. Ia tidak sekadar memindahkan satu objek ke media baru, namun lebih dari itu ia memberi makna. Pelukis sejati adalah penafsir realitas yang memberi kemungkinan-kemungkinan baru bagi esensi, bagi suatu dialektika realitas yang majemuk. Inilah yang disebut oleh Clive Bell sebagai significant form.
Kenapa rasa syukur juga perlu dihayati oleh para pelukis dan penikmat lukisan, karena lukisan itu indah dan mempunyai makna bagi manusia sebagai subyek tafsir. Tentang keindahan, Islam memang tidak main-main. Ada satu hadits sahih yang mengatakan bahwa: “Allah itu indah dan menyukai keindahan.” Pelukis bisa memberikan dorongan kepada khalayak tentang keindahan Tuhan yang telah diciptakanNya. Lukisan bisa menjadi media syukur tentang keindahan ciptaan Tuhan.
Di Banten, di tengah masyarakat yang kuat memegang teguh panji-panji agama, pelukis-pelukis Banten harus mampu sekuat tenaga membuktikan bahwa lukisan juga media yang tepat untuk bersyukur, bukan sebuah strategi dan taktik menantang kebesaran Tuhan. Lukisan yang lahir dari kerja rendah hati dan mendapati diri selayak debu di antara keluasan alam semesta, tentu akan melahirkan enerji positif yang luar biasa. Maka para penikmat lukisan pun akan melihat bagaimana pelukis di saat melukis seperti halnya ulama yang sedang berzikir dan lukisan yang lahir akan menjadi rupa yang berzikir.
Penting juga untuk diingat, Banten kini telah memiliki ribuan pondok pesantren. Ratusan pesantren di antaranya telah mengajarkan seni lukis kepada para santrinya. Para pelukis Banten sebagai kelompok profesional harus bisa membuktikan diri bahwa seni lukis adalah jalan yang hanif bagi para peziarah tanda-tanda kebesaran Tuhan
Selamat kepada para pelukis Banten, khususnya di daerah Tangerang Selatan, semoga pameran lukisan bertajuk Art Identity ini menjadi momentum untuk kembali melihat fitrah diri sebagai hamba yang dhaif, sehingga Art Identity menjadi pintu masuk bagi perjalanan panjang menelusuri labirin takdir. Sebab takdir, suatu ketetapan Tuhan Yang Kuasa, selain harus diimani, ternyata ia menuntut estafet kemungkinan yang bukan hanya panjang dan berliku, namun juga terkadang perih dan menikam hati. Hanya orang-orang yang khusyu saja yang akan merasakan ringan dalam setiap langkah pencarian dirinya.
Dari self identity menuju Art Identity, saya berharap lukisan-lukisan dalam pameran ini menjadi semacam mutasi estetik yang mencerahkan, yang oleh Alfred North Whitehead dikatakan sebagai the adventure of idea. Petualangan ide, bagaimana pun, akan memerkaya pengalaman iman kita sebagai manusia. (*)
(Tulisan ini merupakan catatan kecil sebagai pengantar katalog pameran lukisan bersama bertajuk Art Identity di Balai Kota Tangerang Selatan, Banten, 22 Mei-23 Juni 2017)