Beranda Opini

Menyandarkan Pada Amal

Tiada Hari Tanpa Berhala
Foto: Ubaidilah

“Termasuk tanda mengandalkan amal adalah kurang mengharapkan ampunan Allah SWT ketika berbuat kesalahan”

من علامات الإعتماد على العمل نقصان الرجاء عند وجود الزلل

Dalam sebuah kesempatan, saya ngobrol dengan kang Fadeli sambil menikmati secangkir dan makanan khas gemblong yang masih panas, dan sebungkus rokok kretek menambah kehatangan obrolan malam itu. Dalam obrolan tersebut kang Fadeli menjelaskan kalimat yang termaktub didalam kitab hikam karya Ibnu Athoillah. Diantaranya menjelaskan tentang tercelanya seseorang yang mengandalkan amal-amalnya.

“orang yang angkuh itu orang yang mengandalkan amalnya” jelas kang Fadeli “kenapa? Karena belum tentu amalnya tersebut tidak mengandung kecacatan.”

“maksudnya mengandung kecacatan kang?” Tanya saya yang masih belum ngeh dengan penjelasan beliau

“lah iya, syetan kan tidak pernah suka terhadap hamba Allah yang berbuat kebaikan, kalaupun hamba Allah itu berbuat kebaikan jalan satu satunya memutar balikan niatnya, katakanlah kamu sholatnya , maka syetan masuknya lewat hati dengan menjadikan dirimu bangga diri karena merasa taat kepada Allah, sedangkan kamu melihat orang lain yang tidak setaat kamu merasa lebih rendah dari dirimu, apakah itu bukan ujub namanya? Kalau shalatnya menghasilkan ujub apa itu bukan cacat amalnya?” Tanya Kang fadeli

Baca Juga:  Resepsi dan Resistensi dalam Seni Arsitektur Islam (bag. 1)

“kalau begitu yang harus diandalkan apa dong? Bukannya memang sholat itu kewajiban yang harus dikerjakan oleh setiap orang muslim?” masih dalam kebingungan saya mencoba memahami perkataan beliau dengan bertanya

“ benar sholat itu kewajiban setiap orang yang percaya dengan syariatnya Nabi SAW, kalau memang sholat itu perintah ya sudah kerjakan saja tapi jangan kamu mengandalkannya, khawatirnya kamu berhenti disholat, berhenti di , berhenti di haji. maksudnya begini,” kang Fadeli merubah posisi duduknya sambil menyeruput kopi hitam yang mulai asrep. “shloat itu wasilah sedangkan ghoyahnya adalah Allah. Yang kamu harus andalkan adalah rahmatnya Allah, bukan amal amal kamu yang penuh dengan kerusakan itu.” Jelasnya dengan penuh saya paham dengan penjelasan beliau.

Masih kesusahan saya memahami karena memang selama ini saya berpendapat bahwa kalau mengerjakan perintah Allah maka dapat pahala dan dimasukan kesurga. “terus kang….” Saya mempersilahkan Kang Fadeli untuk melanjutkan penjelasannya.

“pernah kamu sholat fikirannya fokus kepada Allah, tidak keluyuran kesana kesini? Pernah kamu berpuasa, matamu, telingamu, mulutmu, fikiranmu dan hatimu ikut berpuasa? Pernah kamu shodaqoh tanpa merasa dirimu sedang beramal?” Tanya Kang Fadeli.

Baca Juga:  Tukang Asongan di Masjid Al-Hikmah

“wadung kang. Kalau mau jujur sih saya tidak pernah seperti itu, baru saja saya takbir fikiran saya sudah kemana mana, kadang ke , kadang ke makanan, malah terkadang mikirin uang. Belum lagi kalau masalah puasa yang kang Fad sebutkan tadi” jawab saya dengan jujur.

Mendengar jawaban saya Kang Fadeli tertawa. “Artinya rusak kan?” Tanya kang Fadeli

Saya menganggukkan kepala, mengisyaratkan sepakat dengan pernyataan beliau, sambil berharap mendapat keterangan lanjutan.

“kalau rusak terus kamu mau andalkan? Tanyanya lagi.

Saya hanya nyengir tanpa menjawab iya atau tidak

“kalau memang amal itu rentan dari kerusakan satu satunya yang yang diandalkan atau menjadi sandaran adalah rahmatnya Allah” lanjut Kang Fadeli

“Rasulullah pernah bersabda begini, Salah satu diantara kalian amalnya tidak akan memasukkannya ke surga. Para Shahabat bertanya : Dan bukan engkau ya Rasulullah?. Rasulullah SAW menjawab : “Dan bukan aku, hanya saja Allah memberikan rahmat-Nya kepadaku. Begitu wejangan kanjeng nabi” jelas Kang Fadeli

Baca Juga:  Memilih dengan Kasih, Mencoblos dengan Sayang

“terus kita sholat untuk apa kang? Kalau memang sholat, puasa, zakat dan berbuat baik itu tidak bisa kita jadikan sandaran mendingan tidak usah mengerjakan sekalian, toh sia semuanya” sela saya

“untuk kamu sendiri supaya jadi orang yang tawaddu. Kalau kamu menyandarkan kepada amal mu, kamu termasuk angkuh, kenapa? Karena kamu tidak mampu melihat rahmat Allah didalam amal amal mu. Bagaimana mungkin sebuah amal yang dirahmati Allah akan melahirkan ujub? Tapi sangat besar kemungkinan sebuah amal melahirkan sifat ujub, riya bahkan takabur kalau tidak disertai dengan rahmat Allah” ujar kang Fadeli.

“jadi….” Sela saya

“jadi…. Kamu akan menyesal dihadapan Allah nantinya, jika yang kamu andalkan adalah amalmu yang ternyata penuh cacat, tapi jika kamu mengandalkan rahmatNya, saya yakin rahmatnya Allah tidak bercacat sedikitpun. Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka (orang-orang yang berilmu) bergembira (berbangga), kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa (kesenangan duniawi) yang dikumpulkan (oleh manusia)” (QS Yunus:58).” Tutur kang Fadeli, sekaligus beliau pamit.

Oleh: