Sesosok lelaki tangguh paruh baya dengan ikhlas menggerakkan seluruh tenaganya tanpa belas kasih kepada anaknya. Banting tulang siang dan malam untuk sesuap nasi demi keluarganya. Ia mengajarkanku kebaikan, menjelaskan ku tentang makna kehidupan, dan mendidikku dengan sungguh kasih sayang.
Ya, dia adalah ayahku. Laki-laki luar biasa yang setiap hari rela di sengat matahari, dan hujan pun tak dapat membatasinya. Ia adalah pahlawan luar biasa bagi hidupku, ia tak pernah mengenal lelah demi menafkahi keluarganya.
Mempunyai hidup yang tekat, ayahku kelahiran Jakarta, 17 Maret 1967 bernama Jaelani dan sering disapa Anang. Beliau adalah anak ketiga dari 5 saudara perempuan. Beliau hanya mengenyam sampai bangku SMP. Karena keterbatasan biaya dan karena telah ditinggalkan ayahnya untuk selamanya. Ia pun memilih tidak melanjutkan sekolah dan membantu ibu untuk mencukupi kebutuhan setiap hari dengan bekerja menjadi pedagang kaki lima, supir angkot, dan buruh.
Ia adalah sosok seorang ayah yang tak pernah mengeluh, rajin dan semangat. Ia selalu mengingatkan kepada ketiga anaknya untuk selalu belajar dan belajar agar sukses di kemudian hari.ia tidak ingin anak-anaknya bernasib sama sepertinya.
Sekitar tahun 1990, ia mendapat pekerjaan di salah satu pabrik motor. Di lingkungan yang baru itu, ia bertekat untuk bekerja lebih baik untuk keluarganya dan mencari uang untuk membiayai anak-anaknya sekolah, ayahku pernah berkata “Tidak apa-apa ayah mah ngga usah makan, uangnya buat kamu sekolah aja biar sukses terus, bisa buat ayah bangga.”
Ayah saya adalah sosok yang luar biasa. Ia tak ingin anak-anaknya mengkhawatirkannya. Ia ingin anak-anaknya belajar betul-betul dan tak perlu memikirkan berapa pun biayanya. Bagi saya beliau adalah harta termahal yang ada di hidup saya. Seorang ayah yang selalu sabar dan ikhlas menerima semua yang terjadi dikehidupan ini.
“Hidup itu harus dijalani dengan ikhlas dan selalu bersyukur tapi yang jadi nomor satu itu kejujuran. Tekun belajar dan jangan pernah ninggalin sholat, ayah hanya ingin liat anak-anaknya sukses, ngga perlu apa-apa,” pesannya.
Ayah entahlah bagaimana cara aku membalasmu. Aku mencintaimu ayah.
Penulis: Dwi Gita Anjani, Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta, Jurusan, Teknik Grafika Penerbitan (Jurnalistik)