Pelitabanten.com – Perekonomian Indonesia sekarang ini sangat terdampak wabah Covid-19. Wabah yang awalnya hanya memengaruhi sektor kesehatan, pada akhirnya juga sangat berimbas pada sektor ekonomi dan sosial.Ekonomi mengalami krisis, pengangguran meningkat, dan dunia usaha tidak bisa menggeliat.
Peran pemerintah dalam mengatasi dampak-dampak tersebut sangat krusial, karena peran swasta dalam kondisi sekarang kurang dapat diharapkan. Dalam hal ini, pemerintah menghadapi dilema yang nyata. Pertama, karena lesunya aktivitas ekonomi akibat Covid-19 maka penerimaan pajak akan sangat berkurang.
Dapat dipastikan target penerimaan pajak yang dipatok pada APBN tidak akan tercapai. Kedua, dari sisi belanja, pengeluaran pemerintah diharapkan meningkat sebagai dorongan permintaan untuk mendanai berbagai program bantuan sosial.
Meskipun dari sisi penerimaan terhimpit dan dari belanja sosial diharapkan meningkat, sebagai bagian dari strategi kebijakan kontra siklis (counter cyclical policy), pemerintah tetap perlu mengorbankan sebagian potensi penerimaan untuk menolong perekonomian.
Dalam kerangka pemikiran tersebut, untuk mengatasi dampak dan memulai pemulihan ekonomi nasional, pemerintah memberikan insentif pajak dalam bentuk (1) penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh), (2) insentif bagi wajib pajak terdampak, (3) fasilitas pajak untuk pengadaan barang dan jasa dalam rangka penanganan Covid-19, dan (4) fasilitas pajak penghasilan dalam rangka penangangan Covid-19. Tulisan ini akan mengupas fasilitas yang pertama tersebut yaitu penurunan tarif PPh, memahami latar belakangnya, kemudian merefleksikan kebijakan tersebut cukup untuk mendorong daya saing perekonomian.
Penurunan Tarif PPh Badan
Kebijakan penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 17 ayau 1 huruf b, pada Undang-undang PPh disebut-sebut untuk membantu wajib pajak badan yang tertekan karena adanya wabah Covid-19. Pada saat ini, tarif PPh Badan adalah sebesar 25 persen. Sebelum wabah Covid-19 pun, sebenarnya pemerintahan Presiden Jokowi sudah merencanakan penurunan secara bertahap tarif pajak badan sebagai janji politik dalam kampanye.
Dengan adanya wabah Covid-19, pelaksanaan penurunan tersebut dipercepat, yaitu berdasarkan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 (yang kemudian diundangkan menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020), yaitu menjadi 22 persen pada tahun 2020-2021 dan kemudian diturunkan lagi menjadi 20% pada tahun 2022. Bagi perusahaan yang go public dengan syarat-syarat tertentu bisa mendapatkan diskon tambahan sebesar 3 persen, sehingga tarif PPh Badan menjadi 19 persen (tahun 2020-2021) dan 17 persen (mulai tahun 2022). Pada angka 17 persen tersebut, tarif pajak Badan yang berlaku di Indonesia akan setara dengan tarif PPh Badan yang berlaku di Singapura.
Memang yang menjadi alasan penurunan tarif pajak ini adalah agar Indonesia mampu bersiang dengan negara-negara tetangga karena dianggap tarif pajak Indonesia relatif lebih tinggi dibanding tarif negara ASEAN. Dengan tarif pajak yang lebih tinggi tersebut akan menghambat arus investasi asing ke Indonesia. Selain itu, pemberian tarif khusus bagi perusahaan masuk bursa bertujuan agar semakin banyak perusahaan domestik yang melantai di bursa sehingga meningkatkan kedalaman pasar modal kita, yang mempermudah pemenuhan kebutuhan dana untuk investasi.
Atas argumen ini, ekonom Faisal Basri dalam Seminar Nasional Perpajakan yang diselenggarakan oleh Politeknik Keuangan Negara STAN tanggal 8 November 2020, beliau menyatakan tidak setuju. Pak Faisal Basri menyajikan data bahwa secara umum jika tarif pajak disesuaikan dengan ukuran ekonomi (PDB), maka tarif pajak Indonesia tidak terlalu jauh berbeda dengan kelompok negara lain. Selain itu, beliau berargumen bahwa Indonesia sebagai negara dengan konsumen yang besar dan sumber daya yang kaya dapat menarik investor dengan cara lain, tidak hanya dengan menurunkan tarif pajak.
Penulis setuju bahwa jika tidak hati-hati, persaingan pajak (tax competition) antar negara dapat merupakan perlombaan masuk ke dasar jurang (race to the bottom) yang hanya akan menguntungkan perusahaan multinasional. Jadi khusus untuk insentif pajak ini, sebenarnya relatif kurang terkait secara langsung dengan penanganan Covid-19. Argumennya ada dua: (1) sebenarnya sudah direncanakan sebelumnya, hanya secara kebetulan dasar hukumnya disahkan bersamaan dengan kejadian wabah Covid-19 dan (2) dampak secara jangka pendek memang berupa tersedianya dana bagi perusahaan sehingga menolong sedikit bernapas, tetapi dampak sepenuhnya (dalam bentuk peningkatan investasi dan perubahan struktural) baru akan terasa dalam jangka panjang.
Kebijakan Pajak dan Perubahan Struktural
Meneruskan pendapat sebelumnya bahwa penurunan pajak secara khusus dan kebijakan pajak secara umum lebih tepat dikaji dalam kaitannya dengan perubahan struktural untuk meningkatkan daya saing ekonomi dalam jangka panjang. Terkait dengan penanganan dampak dan insentif pajak untuk Covid-19, lebih tepat dipakai mekanisme yang lain, misalnya pajak Ditanggung oleh Pemerintah (DTP) atau mekanisme lain. Dalam hal ini, pemerintah juga telah menyiapkan beberapa kebijakan khusus tersebut sebagaimana telah disinggung di paragraf kedua tulisan ini.
Dalam kaitan dengan peningkatan daya saing ekonomi suatu negara untuk menarik investasi asing, tarif pajak bukanlah segala-galanya. Iklim investasi Indonesia yang masih belum ideal tercermin dari peringkat Kemudahan Melakukan Usaha (Ease of Doing Business, EODB) dimana nilainya membaik tetapi Indonesia masih kalah dibanding Vietnam. Hal-hal yang masih perlu ditingkatkan adalah terkait dengan perizinan, hukum, dan perpajakan. Meskipun demikian, perpajakan di sini lebih terkait dengan pembayaran pajak (paying taxes) yang tidak semata-mata mencakup besarnya pajak yang dibayar, tetapi juga beban administrasi dalam pembayaran pajak dan biaya kepatuhan setelah menyampaikan SPT.
Demikian pula, jenis pajak yang dicakup dalam EODB ini bukan hanya PPh Badan, tetapi juga mencakup PPh Pribadi, Pajak Bumi dan Bangunan, pajak dividen, pajak jalan, iuran sampah, dan lain sebagainya. Jadi menurunkan tarif pajak PPh Badan sangat perlu dilengkapi dengan kebijakan membereskan masalah pajak daerah dan terutama pungutan-pungutan lain, agar nilai EODB meningkat.
Selanjutnya, peringkat daya saing global (global competitiveness index) Indonesia juga masih perlu diperbaiki, terutama terkait dengan daya saing SDM, inovasi, dan adopsi teknologi. Dalam hal ini, program kerja prioritas untuk mendorong reformasi struktural meliputi pengembangan SDM, pembangunan infrastruktur, deregulasi, pemotongan birokrasi, dan transformai ekonomi. Terkait dengan hal tersebut, perlu dikembangkan kebijakan dan insentif perpajakan yang diarahkan untuk mendukung transformasi struktural tersebut.
Sekali lagi, tarif pajak bukan lah segalanya-galanya. Yang juga mendesak dilakukan adalah pembenahan administrasi perpajakan. Administrasi perpajakan memang diakui semakin membaik dengan berbagai aplikasi elektronik, tetapi tetap perlu ditingkatkan dalam rangka menekan biaya administrasi dan biaya kepatuhan. Jika hal tersebut berhasil dilakukan, kemudahan melakukan usaha di mata investor semoga semakin meningkat sehingga meningkatkan daya saing Indonesia untuk menarik investasi.
Penulis: Akhmad Solikin, SE, MA, PhD, CA (Dosen Politeknik Keuangan Negara STAN)