Oleh:
Mohamad Iyos Rosyid, S.KPm, M.AP
(Pemerhati Kebijakan dan Politik Pilkades Kabupaten Lebak)
LEBAK, Pelitabanten.com– Pemilihan Kepala Desa, merupakan hajatan demokrasi yang juga membuka jalan bagi pembaharuan kemajuan desa. Hasil Pemilihan Kepala Desa, sesungguhnya jabatan politis yang kuat legitimasinya dan berdaulat. Kekuasaan Kepala Desa mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan peraturan (Perdes) dengan persetujuan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Semacam kontrak politik, masyarakat pedesaan juga bisa memanfaatkan momentum Pemilihan Kepala Desa untuk mencari sosok Kepala Desa yang penuh komitmen untuk pembaharuan kemajuan desa, dari pada terus menerus dibohongi dengan janji-janji semu, dan praktik politik uang.
Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) Serentak di Kabupaten Lebak semula akan digelar pada 26 September 2021. Namun, ditunda karena situasi pandemi Covid-19. Upaya penundaan Pilkades Serentak di Kabupaten Lebak itu dilakukan setelah terbitnya Surat Menteri Dalam Negeri terbaru Nomor 141/4251/SJ pada 9 Agustus 2021 tentang pelaksanaan Pilkades di masa penerapan PPKM Level 3 dan 4. Sehingga Asda I Bidang Pemerintahan Pemkab Lebak, Alkadri, menyatakan bahwa Pilkades Serentak di 266 desa di Kabupaten Lebak diundur dari semula tanggal 26 September menjadi tanggal 24 Oktober 2021.
Dilansir dari tribunbanten.com bahwa Kepala Dinas Pemerintahan Masyarakat Desa (DPMD) Kabupaten Lebak, Babay Imroni turut membenarkan adanya penundaan Pilkades Serentak tersebut yang akan dilaksanakan pada tanggal 24 Oktober 2021. Hal yang menjadi perhatian publik adalah proses demokrasi calon Kepala Desa yang menjadi ujung tombak di akar rumput apakah akan berjalan dengan baik sesuai tatanan demokrasi ataukah dikotori oleh politik uang dan ancaman celah kecurangan lainnya dalam mencoreng nilai-nilai demokrasi ditingkat desa?
Filosof Immanuel Kant pernah menyindir, ada dua watak binatang terselip di setiap insan politik: merpati dan ular. Politisi memiliki watak merpati yang lembut dan penuh kemuliaan dalam memperjuangkan idealismenya. Tetapi, ia juga punya watak ular yang licik dan jahat, serta selalu berupaya untuk memangsa merpati. Celakanya yang sering muncul dan menonjol pada politisi adalah “sisi ular” dari pada watak “merpati”-nya. Metafora sang filosof yang normatif dan simbolik itu sudah menjadi pengetahuan umum, ketika berbicara soal etika politik. Bahkan ekstimitas watak politisi pun diasosiasikan dengan “watak binatang”.
Sehingga ketika para Calon Kepala Desa yang ingin maju dalam kontestasi Pilkades haruslah yang memiliki idealisme dan pandangan untuk memajukan desa, dari pada menghalalkan segala cara dengan menggunakan politik uang, apalagi menunjukan rasa benci karena tersaingi ada lawan dan bahkan melakukan kekerasan serta intimidasi seperti pencabutan alat peraga bendera, perobekan baliho, dan lainnya. Perbuatan seperti itu sama halnya menunjukan watak “sisi ular” seperti yang dikatakan oleh Imanuel Kant.
Politik uang adalah pemberian uang atau barang, atau fasilitas tertentu, dan janji kepada para orang-orang tertentu agar seseorang dapat dipilih. Ada banyak cara politik uang dilakukan oleh para actor Pilkades, seperti yang disebutkan oleh Wahyudi Kumorotomo (2009) politik uang dilakukan dengan cara langsung dan tidak langsung. Secara langsung, berbentuk tunai dari “tim sukses” calon tertentu kepada konstituen yang potensial. Secara tidak langsung bisa berbentuk pembagian hadiah atau doorprize, pembagian sembako kepada konstituen, pembagian semen, atau sebagainya yang dapat mempengaruhi konstituen untuk memilih calon kepala desa.
Apalagi kita ketahui, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilian Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang, bahwa paying hukum tersebut hanya mencangkup pemilihan kepala daerah tingkat Gubernur, Bupati, dan Walikota, tidak mencangkup pemilihan kepala desa. Artinya belum adanya mekanisme penanganan tindak pidana politik uang dan sanksi politik uang pada Pilkades. Inimnandakan bahwa celah kecurangan bisa saja terjadi dengan leluasa apabila kontrol dan pengawasan tidak dilakukan dengan ketat. Baik oleh para kompetitor (pesaing) calon kepala desa maupun oleh penyelenggara Pilkades.
Jeje, warga Kabupaten Lebak saat dilakukan wawancara mendalam mengatakan bahwa politik di tingkat desa biasanya pada hari H mereka melakukan serangan fajar dengan nominal uang paling kecil adalah Rp 50.000 dan uang paling besar adalah Rp 100.000. Ia juga menambahkan bahwa praktik lainnya seperti “liweteun” atau makan bersama, biasanya dilakukan setiap malam Minggu oleh masyarakat atau pendukung para calon Kepala Desa untuk kegiatan makan-makan dan ngobrol seputar politik sebagai bentuk dukungan. Minimal para calon mengeluarkan uang sebesar Rp 100.000 kepada para pendukungnya untuk “liweteun” dan itu terjadi setiap seminggu sekali, atau seminggu tiga kali.