
Jeje menerangkan bahwa bagi masyarakat, politik uang dalam Pilkades sudah lumrah, setiap Pilkades atau Pemilu pemilih pasti mendapat amplop. Bahkan kebanyakan warga desa sudah menunggu amplop dari calon, mereka juga tidak segan untuk menceritakan berapa jumlah amplop yang sudah diterima kepada orang lain. Dari pihak calon, mereka merasa kurang afdol jika tidak ikut memberikan amplop. Besaran uang untuk pemilih dalam pilkades lebih besar dibandingkan dalam pilkada, per orang sebesar Rp 50.000- Rp150.000. Penyalurnya ke pemilih menggunakan cara yang sama, pemberian uang dilakukan melalui korlap. Uang diberikan ke calon pemilih bertahap mulai dari malam hari sebelum hari pencoblosan (lazim disebut serangan fajar) atau bagi yang terlewat, dengan cara dilakukan penyisiran oleh tim sukses ditemukan belum terima amplop, uang diberikan di pagi hari di hari pecoblosan.
Dalam politik uang di Pilkades pola hubungan patron- klien terjadi antara aktor politik dan/atau aktor ekonomi yang berperan sebagai patron dan masyarakat pemilih, sebagai kliennya. Adapun yang dimaksud dengan aktor politik adalah calon, tim kampanye/tim sukses dan para kepentingan lainnya, sedangkan aktor ekonomi adalah investor/ pemodal.
Calon Kepala Desa yang memiliki kemampuan finansial secara besar ini sebagai kekuatan dan penentu dalam kemenangan. Mereka menggunakan uang sebagai panglima dalam memenangkan kontestasi politik ditingkat desa. Bahkan Peraturan Bupati Lebak Nomor 7 Tahun 2015 tentang tata cara pemilihan kepala desa serentak pada pasal 56 point (g) menjelaskan larangan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih. Namun lemah dalam penegakan sanksi. Sanksi yang diatur tertera pada pasal 57 yang mana point (a) hanya dikenakan sanksi peringatan tertulis, dan point (b) penghentian kegiatan kampanye ditempat terjadinya pelanggaran yang dapat mengakibatkan gangguan terhadap keamanan yang berpotensi menyebar ke wilayah lain dari Panitia Pemilihan.
Peraturan Bupati Lebak Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Bupati Lebak Nomor 7 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pemilihan Kepala Desa Serentak tidak menyebutkan larangan politik uang, namun lebih menitik beratkan kepada penanganan protokol kesehatan pada pilkades serentak 2021. Ini menjadi titik lemah atau celah ancaman dalam politik uang ditingkat Pilkades.
Dalam politik uang di Pilkada pola hubungan patron- klien terjadi antara aktor politik dan/ atau aktor ekonomi yang berperan sebagai patron dan masyarakat pemilih, sebagai kliennya.Adapun yang dimaksud dengan aktor politik adalah calon, tim kampanye/tim sukses dan pengurus partai politik pengusung, sedangkan aktor ekonomi adalah investor/ pemodal.
Ancaman lainnya adalah apa yang kita ingat bahwa pada tanggal (17/9) lalu, Hida Nurhidayat selaku warga Kecamatan Malingping telah mengkritisi mekanisme Pilkades serentak tahun 2021 di Kabupaten Lebak disituasi pandemi covid-19. Kritik tersebut lebih ditekankan pada mekanisme penghitungan suara di TPS yang mana penghitungan suara disatukan ke dalam satu kotak suara dan Ia anggap bahwa itu akan memicu kemungkinan-kemungkian kerawanan, kecurangan, selisih suara, pemungutan dan penghitungan suara ulang, dan lain-lain yang tentunya akan merugikan masyarakat, dan para calon serta pemerintah sendiri.
Tidak berhenti disitu, perhatian Pilkades juga menjadi serius manakala tidak adanya lembaga pengawasan pemilihan kepala desa yang sebagai ujung tombak dalam penegakan demokrasi agar berjalan dengan baik. Politik uang dan celah ancaman kecurangan lainnya juga menjadi momok bersama yang menghancurkan nilai-nilai demokrasi di negeri ini.
Solusi yang ditawarkan adalah terbentuknya lembaga pengawasan yang memiliki payung hukum untuk di tingkat desa yang nantinya di Perdakan oleh tingkat Kabupaten Lebak. Serta adanya penegakan hukum dalam politik uang ditingkat pemilihan kepala desa serentak untuk tahun ke depan. Alokasi anggaran dari pemerintah Kabupaten harus menjadi perhatian penting agar nilai-nilai demokrasi dapat berjalan dengan baik. Jika panitia Pilkades dapat terbentuk ditingkat Kabupaten, maka seyogyanya Pengawas Pilkades juga terbentuk dan menjadi bahan perhatian semuanya ditingkat akar rumput.
Tata cara atau mekanisme dalam larangan politik uang ditingkat Pilkades bisa didorong kepada para Legislatif agar dapat di Undang-Undangkan atau masuk dalam materi Rezim Pemilu, sehingga praktik politik uang ditingkat kepala desa bisa menjadi bahan serius untuk semuanya. Pemerintah harus memberikan perhatian serius kepada nilai-nilai demokrasi ditingkat desa, karena desa adalah ujung tombak demokrasi, dan di desa lah nilai-nilai demokrasi harus tertanam dengan baik.