Pelitabanten.com – Secangkir kopi menggugah mata. Tahu betul si cinta membangunkan gairah. Suguhan kopi hitam tanpa gula, di pagi yang baru berkecambah. Sungguh, nikmat nian.
Tapi, seketika kenikmatan itu berlalu. Berasa hambar, setelah ada kiriman link portal berita online (rmolbanten.com) dari seorang kawan, via pesan WhatsApp. Berita edisi, Jumat 21 Februari 2020 itu berjudul, “Ribuan Anak di Kota Serang Alami Stunting.” Entah, ini kabar baik atau buruk, yang pasti merusak selera menikmati kopi.
Dalam isi berita menyebutkan, jumlah anak penderita stunting di Kota Serang mencapai 2.556 jiwa hingga akhir 2019. Meski tak menyebut detail jumlahnya, angka itu disebut mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya. Saya coba buka di portal berita online lainnya (kabar-banten.com). Sekadar untuk pembanding.
Judul beritanya, “Stunting di Kota Serang Meningkat.” Sudut pandang pemberitaannya hampir serupa, meski isi beritanya lebih detail. Laporan beritanya, menyertakan data perbandingan tahun sebelumnya. Kasus pada 2018, tercatat sebanyak 2.543 (5,4 persen). Prosentasenya naik dari 5,4 persen (2018) menjadi 5,8 persen atau 2.556 jiwa (2019). Kendati, angka ini masih di bawah kasus nasional, yang tercatat sebesar 28 persen.
Dari paparan “narasumber” berita (seorang pejabat pada Dinas Kesehatan Kota Serang), kenaikan itu lantaran ada pemutakhiran data. Konon, masih terus dilakukan pendataan untuk melihat naik atau turunnya kasus. Ketimbang sebagai penjelasan, perkataan ini lebih berasa dalih untuk dikesankan kerja, atau sekadar menutupi angka pesakitan kasusnya.
Dari paparan si narsum yang berlatar belakang dokter itu, pihak Dinas Kesehatan Kota Serang semestinya sudah bisa memetakan faktor terjadinya kasus stunting tersebut. Lalu, penuh kesungguhan menyiapkan program intervensinya.
Riwatnya pun tergambar jelas. Paparannya menyebut faktor asupan gizi, dan lingkungan (sanitasi) menjadi pemicu stunting. Pemicu lain yang tak sebutkan, bisa pola asuh orang tua, tingkat pendidikan/pengetahuan orang tua, keterjangkauan pelayanan kesehatan hingga ekonomi, dan lain sebagainya yang lebih mendasar lagi.
Seketika, ingatan saya me-recall, studi epidemiologi atau riwayat alamiah terjadinya penyakit semasa di bangku perkuliahan. Sederhananya, stunting itu menunjukkan kekurangan gizi kronis selama periode paling awal pertumbuhan, dan perkembangan anak. Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) mendefinisikannya sebagai kegagalan pertumbuhan anak akibat gizi buruk, terkena infeksi berulang kali, dan kekurangan stimulasi psikososial.
Kasus ini memang masih menjadi persoalan pelik. Tidak hanya di Kota Serang, tapi juga secara nasional. Gambarannya, terlihat dari Riset Kesehatan Dasar (Riskedes) Kemenkes pada 2018. Riset mengungkapkan, persentase anak penderita stunting di Indonesia mencapai 30,8 persen. Hasil yang tidak jauh beda dengan Pemantauan Status Gizi (PSG) Kemenkes pada 2017, yang menunjukkan anak di bawah lima tahun (balita) mengalami stunting sebesar 29,6 persen. Kedua persentase ini, lebih tinggi dibandingkan standar persentase 20 persen stunting yang ditetapkan WHO.
Pejabat Dinas Kesehatan, dan/atau Pemkot Serang, dan pemerintah kabupaten/kota lainnya, bisa saja berdalih angka kasus di masing-masing wilayahnya di bawah angka nasional. Tapi yang menjadi soal, stunting berkaitan dengan masa depan si anak. Apalagi kita mengimani, masa pertumbuhan anak adalah fase usia emas.
Dari berbagai studi yang ada, stunting bisa menyebabkan banyak soal pada anak di masa depan. Di antaranya, kerusakan otak, kemampuan kognitif terbatas, dan gangguan pencernaan. Seiring bertambahnya usia anak, stunting juga menyebabkan berbagai masalah kesehatan lainnya. Misalnya, kecerdasan anak di bawah rata-rata yang bisa memicu prestasi belajar yang tidak maksimal; sistem imun (kekebalan) tubuh anak tidak baik, sehingga mudah terjangkit penyakit; dan anak akan lebih berisiko menderita diabetes, penyakit jantung, stroke dan kanker.
Dinas Kesesehatan Kota Serang, sebagaimana pengakuan narsum berita di atas, mengaku sudah melakukan berbagai langkah. Mulai, dari pemberian asupan gizi melalui program makanan tambahan (PMT), pemberian tablet tambahan darah pada remaja dan ibu hamil. Termasuk, sosialisasi stunting dan pelatihan pemberian makanan untuk gizi dan anak (PMBA) dan pemberian makanan pendukung air susu ibu (MP-ASI) empat bintang.
Langkah ini, patut diapresiasi. Kendati, itu saja tak cukup; menyelamatkan generasi (sehat) masa depan di Ibukota Banten. Pasalnya, kondisi sehat sebagaimana dalam penjelasan teori H.L Blum, tidak sekadar mencakup urusan fisik, melainkan juga aspek spiritual, dan sosial kemasyarakatan.
Pemkot harus punya cara pandang komperehensif dalam menyelesaikan urusan kesehatan masyarakat. Istilah populernya dalam dunia kesehatan, dikenal dengan konsep “Paradigma Sehat”. Yakni, cara pandang atau pola pikir yang bersifat holistik, proaktif antisipatif. Melihat masalah kesehatan sebagai masalah yang dipengaruhi banyak faktor secara dinamis dan lintas sektoral. Orientasi pembangunan kesehatan perlu menekankan peningkatan pemeliharaan, dan perlindungan terhadap penduduk agar tetap sehat, dan bukan hanya penyembuhan penduduk yang sakit.
Dari cara pandang itu, Blum menyodorkan empat faktor determinan yang perlu mendapat intervensi program. Yakni, faktor perilaku/gaya hidup, faktor lingkungan (sosial, ekonomi, politik, budaya, termasuk di dalamnya sarana sanitasi), faktor pelayanan kesehatan (jenis cakupan dan kualitasnya) dan faktor genetik (keturunan). Dan, di antara empat faktor itu, bisa jadi, perilaku dan lingkungan yang menjadi faktor paling berat. Karena faktor ini terkait atau dipengaruhi oleh perilaku masyarakat sendiri.
Faktanya, stunting di Kota Serang bukan sekadar disebabkan asupan gizi. Persoalan lingkungan dan perilaku turut berpengaruh. Indikasinya, masih banyak dijumpai “dolbon” atau buang air besar (berak) di kebun yang masih menjadi potret di teras Ibukota Banten. Informasinya, ada sebanyak 29 warga yang belum memiliki jamban. Sebarannya hampir semua kecamatan, dengan Kasemen yang terbanyak.
Jika boleh menduga, persoalan ini pula yang memicu Ibu Negara Iriana Joko Widodo, datang ke Kota Serang, pada Senin 24 Februari 2020. Dugaan ini berangkat dari jadwal agenda kunjungan yang tersebar di kalangan jurnalis. Ibu negara bertandang dari Jakarta dan mendarat di markas Grup I Kopassus. Kemudian, rombongan Ibu Negara yang juga turut serta istri Wakil Presiden Wuri Estu Handayani, dan sejumlah istri Menteri, langsung menuju Lingkungan Kenari, Kelurahan Kasunyatan, Kecamatan Kasemen, Kota Serang. Salah satu kampung yang warganya terindikasi masih melakukan dolbon.
Dari pemberitaan di berbagai media masa, Ibu Negara memang memberikan bantuan seribu jamban dan air bersih. Perinciannya, 500 buah jamban untuk Kecamatan Kasemen, dan sisanya merata untuk kecamatan lain di Kota Serang. Bahkan, istri Jokowi itu, dalam sambutannya mengaku, mendapat cerita di Lingkungan Kenari, Kelurahan Kasunyatan, lebih dari 30 tahun warga tidak memiliki jamban.
Ironis sekali. Apalagi, Kasemen dulunya pusat peradaban Banten. Tapi, tenang. Kini, lagi ada proyek revitalisasi “Banten Lama, yang kerap digaung-gaungkan menjadi ikon Provinsi Banten. Semoga revitalisasi ini tak berhenti pada urusan fisik semata. Melainkan menyentuh pada aspek yang lebih mendasar “revolusi mental”.
Lebih-lebih, untuk kota yang didapuk sebagai Ibukota Provinsi. Status yang suka tidak suka, menjadikan Kota Serang sebagai representatif; wajah Provinsi Banten. Seorang kawan menyebut dengan nada bernas lagi. Katanya, Kota Serang adalah “Epicentrum Pembangunan Banten”; barometer pembangunan Provinsi Banten secara keseluruhan.
Terkait bantuan dari Ibu Negara, atau pemerintah pusat, dan swasta sekali pun, tidak ada yang salah. Toh, bantuan bisa menjadi pemicu semangat melakukan akselerasi pembangunan. Dan tentu saja, jangan terus didaur ulang untuk komoditas yang membuat merasa diri selalu kekurangan, apalagi merasa inferior mind.
Narasi dan kerja-kerja akselerasi pembangunan dari para pemangku kebijakanlah yang sejatinya dibutuhkan warga. Istilah yang kerap dipakai Pak Jokowi, dengan jargin “membangun optimisme”, sehingga memicu semangat warga untuk ikut serta mendorong agenda kemajuan. Bukankah, Kota Serang punya visi “Terwujudunya Kota Peradaban yang Berdaya dan Berbudaya.”
SAYEMBARA FOTO
Alih-alih menebar optimisme, pejabat Pemkot kerap melontarkan diksi yang bernada pesimistis. Yang paling sering diucapan “keterbatasan anggaran, keterbatasan sumber daya manusia (SDM) dan keterbatasan lainnya. Ini pun, terlihat dari tanggapan Walikota Serang atas bantuan jamban dan air bersih yang diberikan Ibu Negara.
Di banyak berita (silahkan cek portal-portal media online), Walikota memulai perkataannya dengan apresiasi bantuan yang diberikan kepada pihaknya. Hanya saja, bantuan seribu jamban dinilainya tidak cukup menyelesaikan persoalan dolbon, yang disebutnya masih terdapat sebanyak 29 ribu warga. Ujungnya, seperti yang sudah-sudah, kesadaran warga menjadi bahasa kambing hitam. Soal langkahnya, masih jadi tanda tanya dengan narasi yang khas, yakni “akan”.
Yang teranyar, wacana (guyonan/candaan) Walikota soal sayembara dolbon. Sayembara itu dilakukan dengan menginformasikan pelaku buang air sembarangan (BABS) atau dolbon dengan mencatumkan foto pelaku. Konon, orang yang melaporkan, bakal diberi hadiah uang tunai sebesar Rp500 ribu.
Apakah komentar itu sebagai keseleo lidah dari satu sesi wawancara? Entahlah. Jika tak salah ingat, itu bukan wacana guyon yang kali pertama dilontarkan Walikota. Pada awal kepemimpinannya melakukan kunjungan kerja di salah satu kecamatan, juga pernah diucapkan dengan terang. Bahkan, wacana itu disampaikan di saat melakukan sambutan di muka seluruh jajaran OPD, camat, lurah dan tokoh masyarakat yang hadir. Intonasinya, tentu bernada guyon dengan iming-iming hadiah Rp1 juta. Fantastis untuk harga foto yang tak punya nilai apa pun.
Meski sekadar guyon, ini seperti mengindikasikan nir narasi: program dolbon, juga stunting. Apalagi, komentar yang dijadikan judul pada salah satu media ternama di Banten itu, dilontarkan Walikota saat awak media menanyakan soal kebijakan penanganan stunting dan dolbon yang masih berserak di teras Ibukota Banten.
Kalau demikian bisakah itu disebut guyonan? Atau sekadar keseleo lidah? Saya jadi ingin sodorkan pertanyaan; apa seh, yang hendak dicapai dari sayembara semacam itu. Sanksi moral? Memaksa warga tertib dan berperikaku sehat? Atau mendorong partisipasi publik? Kalau demikian, kenapa tak menyontoh saja langkah yang dilakukan Pemkot Bogor.
Di Kota Bogor, konon ada aturan yang mengatur soal buang air sembarangan. Bentuknya diatur dalam regulasi resmi: Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2006 tentang Ketertiban Umum. Jika tak salah, aturan itu salah satunya mengatur soal sanksi kepada siapa pun yang buang air sembarangan dengan denda sebesar Rp50 juta. Tentu saja, aturan saja tak cukup, tanpa pemenuhan fasilitas. Apalagi, tanpa dukungan langkah lain mendorong budaya hidup sehat dan bersih dalam bentuk program berkelanjutan.
Entahlah, tiba-tiba jadi ingin melontarkan sepenggal syair lagu yang hits, “entah apa yang merasukimu” saat mendengar sayembara guyonan ini. Tapi, sebagai warga Kota Serang, saya harus tetap yakin, bahwa pemimpin “akan” menepati janji-janjinya dengan kerja nyata. Bukan sekadar mendengar kata klise, “akan, akan, dan akan”. Semoga.
Bicara soal sayembara, saya jadi ingat satu kisah dalam buku Mahabarata, karya Rajagopalachari. Buku kolosal itu, mengisahkan peristiwa sayembara pemanah terbaik, yang digelar Raja Drupada. Hadiahnya, sebidang tanah sekaligus dinikahkan dengan Sang Putri, yang bernama Drupadi.
Tapi, Sang Raja, sudah memperhitungkan sedari awal. Bahwa Pangeran Arjuna-lah yang akan keluar sebagai pemenang. Indikasinya Sang Raja sederhana, kemampuan pemilik busur panah Gandewa itu, sudah dikenal sebagai pemanah terbaik. Satu-satunya pesaing Arjuna adalah Karna. Sayangnya, Karna tak bisa mengikuti sayembara ini, lantaran sayembara hanya diperuntukan bagi kesatria bergaris darah raja.
Dan singkat cerita, Arjuna memang berhasil memenangkan sayembara. Ia berhak atas hadiah sebidang tanah dari Raja Drupada dan menikah dengan Sang Tuang Putri “Drupadi.” Cerita lebih lengkapnya: baca sendiri…!
Lalu, apa perhitungan Pak Walikota atas sayembaranya foto dolbon warganya? Silahkan tanyakan.
Begitulah kira-kira soal sayembara jika menjadi analogi cerita. Kendati, seorang kawan menyanggahnya dengan keras analogi yang terkesan dipaksakan itu. “Analoginya tak nyambung, maksain banget,” ujar seorang kawan saat berbincang di warung kopi. “Mungkin saja,” jawab saya singkat. “Seperti halnya wacana guyonan sayembara memfoto orang dolbon bukan?” jawab saya lagi, yang baru sadar kopi di dalam gelas tinggal menyisakan ampasnya saja. (*)
Oleh: KEN SUPRIYONO (Penulis adalah Koordinator Journalist Lecture Community)