Beranda Opini

Tantangan Dan Potensi Pengembangan Industri Iradiasi Pangan

Tantangan Dan Potensi Pengembangan Industri Iradiasi Pangan

Pelitabanten.com – Teknik Iradiasi Pangan, Kata radiasi bagi sebagian orang mungkin terdengar berbahaya dan identik dengan gen atau semacamnya. Namun, kekhawatiran tersebut tidak berlaku untuk iradiasi pada bahan pangan.

Iradiasi pangan merupakan salah satu metode pengolahan pangan tanpa menggunakan panas yang bertujuan untuk menjamin stabilitas kualitas pangan dan mengurangi kemungkinan gangguan yang disebakan oleh mikrobiologi dalam pangan.

Iradiasi pangan efektif untuk desinfeksi serangga, mengurangi jumlah bakteri pathogen dan mikroorganisme pembusuk yang dapat mengurangi kualitas dari bahan pangan selama umur simpan (Shah MA et al. 2014).

Teknik iradiasi pangan dilakukan dengan memaparkan bahan pangan dengan sejumlah radiasi pengion dalam dosis yang terkendali. Ada tiga jenis radiasi pengion yang bisa digunakan dalam metode iradiasi bahan pangan, yaitu electron beams dan x-rays yang dihasilkan oleh mesin dan gamma rays yang dihasilkan dari peluruhan radioaktif Cesium 137 atau Cobalt 60. Dosis radiasi mengacu pada jumlah sinar gamma yang diserap oleh bahan pangan dan diukur dalam Grays (Gy). 1 Gy = 1 Joule yang menyerap energi / kg produk. Sebagian besar perlakuan berada di kisaran 1 hingga 10 kGy (1 kGy = 1000 Gy) (Yousefi MR et al. 2015).

Jenis Bahan Pangan Iradiasi

Teknologi iradiasi dapat digunakan untuk menekan angka kontaminasi bakteri, serangga dan jamur yang tinggi pada beragam jenis bahan pangan. Namun, jenis bahan pangan yang paling umum diberikan perlakuan iradiasi adalah rempah dan bumbu kering.

Produk rempah yang dihasilkan di negara berkembang seperti seringkali sulit untuk dipasarkan kepada industri pangan karena memiliki tingkat kontaminasi bakteri, serangga dan jamur yang tinggi, sehubungan dengan kondisi panen dan penyimpanan yang tidak terkontrol. Hal tersebut, tentu menjadi kendala bagi industri pangan yang ingin menggunakan produk rempah sebagai bahan baku produksi pangannya, khususnya bagi industri pangan olahan minuman seperti minuman rempah.

Batas maksimum cemaran mikrobiologi yang diizinkan pada produk minuman rempah oleh Badan (BPOM) diatur cukup ketat. Sedangkan, proses produksi yang dilakukan hanya dry mixng, sehingga tidak ada tambahan proses yang dapat menginaktivasi mikroba dalam produk. Oleh karena itu, tingkat kontaminasi mikrobiologi di pangan olahan jenis minuman rempah sangat bergantung pada tingkat kontaminasi mikrobiologi pada bahan baku rempah yang digunakan.

Baca Juga:  Optimisme Atas Tanda-Tanda Pemulihan Ekonomi Nasional

Kebutuhan Keamanan Pangan

Kewajiban pelaku usaha di bidang makanan dan minuman dalam menyediakan pangan yang aman dan bergizi bagi seluruh konsumen, mengharuskan pelaku usaha menerapkan standar penerimaan bahan baku yang ketat. Oleh karena itu, ketersediaan bahan baku rempah dengan standar cemaran mikrobiologi yang rendah sangat dinantikan oleh industri pangan olahan (Sadecka J 2007; Ayari S et al. 2009).

Industri pangan di Indoensia terus mengalami pertumbuhan, tercatat pada semester tahun 2019 industri minuman telah bertumbuh hingga mencapai 22,74%dengan nilai investasi mencapai Rp 1,43 triliun (Kemenprin 2019). Hal ini selaras dengan semakin meningkatnya kebutuhan pangan karena pertumbuhan populasi dunia yang terus bertambah.

Berdasarkan data perkiraan penduduk yang rilis oleh Badan Pusat Statistika (BPS) pada tahun 2019, jumlah penduduk di Indonesia terus mengalami pertumbuhan disetiap tahunnya hingga tercatat pada tahun 2017 jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapia 261,9 juta jiwa (BPS 2019). Jumlah penduduk yang besar menjadikan Indonesia sebagai pangsa pasar yang sangat besar bagi industri makanan dan minuman.

Bertumbuhnya industri minuman rempah tentunya juga akan berdampak terhadap semakin tingginya permintaan terhadap bahan baku rempah hasil iradiasi.

Keamanan Pangan Iradiasi

Publikasi yang dikeluarkan oleh Joint Expert Committee on Food Irradiation (JECFI) yang didirikan oleh WHO/IAEA/FAO telah menyatakan bahwa iradiasi bahan pangan hingga dosis rata-rata keseluruhan 10 kGy tidak menimbulkan bahaya toksikologi, keamanan dan tidak menimbulkan masalah gizi khusus pada konsumen.

Hal yang sama juga telah dinyatakan oleh badan regulasi internasional lainnya seperti European Food Safety Authority (EFSA), Food Safety Australia New Zealand (FSANZ), Health Canada, US Food and Drug Administration (US FDA) dan lain-lain (Roberts PB 2014).

Baca Juga:  Growth Mindset Bagi Guru Dalam Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ)

Keamanan pangan iradiasi terlihat dengan semakin berkembangnya pangan iradiasi di luar negeri dan semakin banyak fasilitasi irradiator yang dikembangkan di negara lain.

Saat ini di Indonesia baru terdapat 3 irradiator gamma, jauh tertinggal dari Tiongkok yang memiliki 27 dan India yang memiliki 17 fasilitas irradiator gamma (Batan 2015).

Peran Pemerintah

Terlepas dari manfaat besar yang dihasilkan dari teknologi iradiasi. Aplikasi teknologi iradiasi di Indonesia saat ini masih dihadapkan dengan berbagai macam tantangan. Tingkat penerimaan konsumen yang rendah terhadap pangan iradiasi, keterbatasan fasilitasi iradiasi dan sumber daya radiasi pengion dan keterbatasan penilaian dan keamanan material kemasan untuk digunakan pada pangan iradiasi tentunya menjadi tantangan tersendiri.

Saat ini belum banyak industri yang mengaplikasikan teknologi iradiasi ataupun menggunakan bahan baku yang diiradiasi dikarenakan konsumen masih menganggap bahwa produk pangan hasil iradiasi memiliki kualitas yang rendah dan risiko bahaya yang lebih besar.  Selain itu masih ada kesalahpahaman di tingkat konsumen yang beranggapan bahwa produk pangan hasil iradiasi adalah pangan radioaktif.

Pemerintah selaku pemangku kebijakan harus meningkatkan kepercayaan dan penerimaan konsumen terhadap pangan iradiasi, sehingga dapat semakin menarik minat industri pangan dalam mengaplikasikan teknologi iradiasi ataupun menggunakan bahan pangan yang telah diiradiasi sebagai bahan baku pangan.

Edukasi melalui pelabelan merupakan salah satu cara yang bisa diambil Pemerintah untuk mengantisipasi kesalahpahaman di masyarakat yang beranggapan bahwa pangan iradiasi adalah pangan radioaktif. Kebijakan terkait pelabelan yang bisa diambil adalah dengan mengganti penggunaan kata “Pangan Iradiasi” dengan “Pangan Pasteurisasi atau Sterilisasi Non Thermal” (Asiah et al. 2019).

Selain itu, Pemerintah juga dapat mendorong produsen bahan pangan, seperti rempah untuk giat meningkatkan kualitas produknya dengan melalui teknologi iradiasi. Hal ini tentu dapat menarik minat industri pangan olahan untuk menyerap ketersediaan bahan baku lokal yang diiradiasi, sehingga permintaan akan fasilitas iradiasi juga meningkat.

Baca Juga:  Minum Kopi Menyebabkan Radang Gusi Atau Gingivitis, Kok Bisa?

Kedepannya Pemerintah dapat meyakinkan investor swasta untuk menyediakan fasilitas irradiator di dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan iradiasi pangan.

Interaksi bisnis dari stakeholder terkait tentunya akan mendorong pertumbuhan industri dalam negeri di tahun-tahun berikutnya seiring dengan terus bertumbuhnya permintaan atas produk pangan di dunia.

Daftar Pustaka

Asiah N, Kusaumantara KN, Annisa AN. 2019. Iradiasi Bahan Pangan: Antara Peluang dan Tantangan untuk Optimalisasi Aplikasinya. Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi Vol.15:1.

Ayari S, Dussault D, Millette M, Hamdi M, Lacroix M. 2009. Changes In Membrane Fatty Acids and Murein Composition of Bacillus cereus and Salmonella Typhi Induced by Gamma Irradiation Treatment. International Journal of Food Microbiology 135: 1-6.

[Batan] Badan Tenaga Nuklir Nasional. 2015. Ingin Indonesia Mandiri, Batan Bangun Irradiator Gamma Merah Putih. [diacu 2020 April 5]. Tersedia dari: batan,go,id/index.php/id/kedeputian/sains-aplikasi-teknologi-nuklir/aplikasi-isotop-dan-radiasi/1164-ingin-indonesia-mandiri-batan-bangun-irradiator-gamma-merah-putih

[BPS] Badan Pusat Statistika. 2019. Statistik Indonesia 2019. [diacu 2020 April 5]. Tersedia dari:bps,go,id/publication/download.html?nrbvfeve=ZGFhYzFiYTE4Y2FlMWU5MDcwNmVlNThh&xzmn=aHR0cHM6Ly93d3cuYnBzLmdvLmlkL3B1YmxpY2F0aW9uLzIwMTkvMDcvMDQvZGFhYzFiYTE4Y2FlMWU5MDcwNmVlNThhL3N0YXRpc3Rpay1pbmRvbmVzaWEtMjAxOS5odG1s&twoadfnoarfeauf=MjAyMC0wNC0wNyAyMDoxMDozMA%3D%3D

[Kemenpri] Kementrian Perindustrian. 2019. Industri Minuman Tumbuh Lampaui 22%, Kinerjanya Terus Dipacu Lewat . [diacu 2020 April 7]. Tersedia dari: kemenperin,go,id//21118/Industri-Minuman-Tumbuh-Lampaui-22,-Kinerjanya-Terus-Dipacu-lewat-Inovasi

Roberts PB. 2014. Food Irradiation Is Safe: Half A Century of Studies. Radiation Physics and Chemistry. Doi: dx,doi,org/10.1016/j.radphyschem.2014.05.016

Sadecka J. 2007. Irradiation of Spices – a Review. Czech J. Food Sci 25: 231-242.

Shah MA, Mir SA, Pala SA. 2014. Enhancing Food Safety And Stability Through Irradiation: A Review. Journal of Microbiology, Biotechnology and Food Sciences 3(5): 371-378.

Yousefi MR, Razdari AM. 2015. Irradiation` and its Potential to Food Preservation. International Journal of Advanced Biological and Biomedical Research 3(1): 51-54.

Penulis: Dias Erfan
(Mahasiswa Pascasarjana Teknologi Pangan )