Beranda Opini

Tukang Asongan di Masjid Al-Hikmah

Tukang Asongan di Masjid Al-Hikmah
Foto: Istimewa

“Belanjakanlah hartamu di jalan Allah, niscaya Allah akan menggantinya dengan beribu ribu kebaikan yang manusia tidak sanggup untuk menghitungnya, di samping kita berjihad di jalan Allah dengan harta yang kita miliki membelanjakan harta kita dijalan Allah termasuk salah satu prilaku untuk menghindari hubbuaddunya dunia yang berlebihan”

Petikan isi dari khutbah jum’at yang disampaikan oleh kiyai Rifki Sulaiman.

Saya mendengarkan dengan seksama materi khutbah jumat yang pak kiai sampaikan melalui mimbar, dengan pengeras suara setiap kata yang terucap dari mulut beliau terdengar jelas di telinga saya, walaupun sudah lumrah dimana-mana, bagian shof belakang sudah menjadi tempat umum untuk berbincang bincang atau bersenda gurau ketika khutbah berlangsung, obrolan mereka yang berada di shof paling belakang tidak begitu mempengaruhi kualitas suara pak kiyai, karena memang sebelumnya di buat full volume oleh pengurus masjid supaya ketika khatib berpidato kualitas suara terjaga.

Dalam khutbahnya pak kiyai menjelaskan tentang berbagai macam penyakit dunia, ia mengingatkan kepada hadirin tentang para pasukan iblis untuk memutarbalikan fakta supaya manusia terjerumus di lembah kenistaan dunia yang fana ini, kefanaan dunia adalah fakta, hanya saja dimanupulasi oleh para pasukan iblis untuk dilihat manusia seolah-olah kekal dan membuat siapa saja yang memandangnya seperti melihat sebuah yang mewah dan didalamnya sekali kenikmatan yang membuat manusia terlempar dari tauhidnya wamal hayatu dunnya illa mata ul ghurur.

Sebenarnya materi khutbah jumat semacam ini sudah sering di sampaikan oleh khatib yang bertugas, namun alasan pak kiai Rifki Sulaiman untuk sering mengulang ulang materi ini karena menurut beliau ini sangat penting, masalahnya sekarang manusia yang hadir di masjid ini sedang menjalani sesi kehidupan yang didalamnya terdapat fitnah dajjal, ini lah alasan ia seirng mengulan materi fitnah dunia ini, mungkin saja dari para jamaah jumat ada yang bosan mendengarkan materi yang sering di ulang ulang oleh pak kiai, tapi memang seharusnya begitu karena nasehat seperti ini hanya kita dapat menemukan dalam kurun waktu satu minggu sekali, itu juga terkadang kita enggan mendengarkan nasehat nasehat para khatib yang sedang memperingatkan kita semua yang hadir di shalat jum’at ini.

Ketika khutbah berlansung sesorang duduk di samping saya, yang jelas saya sendiri baru pertama kalli melihat orang ini, karena sepertinya bukan warga sini, dengan sedikit mengenakan yang sedikit lusuh, sedikit the kill in the kumel, tidak menebarkan aroma wangi parfum yang ia gunakan, sepertinya mahluk yang duduk disamping saya ini tidak mandi sunah jumat dulu sebelum pergi ke masjid. Tapi untuk menjaga saya terhadap orang tersebut saya tidak berani berkata jujur dengan menyatakan apa yang saya rasakan, tidak pantas juga karena mengatas namakan kejujuran saya harus berkata “ente kok bau kecut amat, ente tidak mandi ya? Seharusnya ente mandi dulu, mandi sebelum berangkat shalat jumat itu hukumnya sunah, ente nanti dapet pahala.” Kalau untuk urusan ini jujur bisa subhat nanti hukumnya.

Baca Juga:  Apa itu qoza’? Perlu Diketahui Bahwa Islam Melarang Qoza

Setelah selesai melaksanakan shalat jumat seperti biasanya para jamaah tidak langsung beranjak dari tempat duduknya, mereka memanjatkan doa masing masing, ada yang berdzikir, ada yang menengadahkan tangan karena sedang terlilit masalah, meminta ampunan atas kesalahan kesalahan yang di perbuatnya, atau sekedar mengucapkan rentetan doa yang ia hapal karena takut hapalannya ilang, ada yang bersandar di tiang masjid untuk rehat sejenak. Saya sendiri sedang tidak melakukan aktifitas apa-apa hanya memperhatikan orang orang yang masih di masjid dengan berbagai macam aktifitas masing masing, sedangkan orang yang di samping saya hanya duduk terdiam matanya terpejam dan saya perhatikan tidak sedang berkata kata, entah dalam hatinya ia sedang memohon apa sama Allah.

Ia kemudian beranjak dari tempat duduknya dan berjalan ke arah pintu belakang masjid, saya terus mengawasi gerak geriknya, alasan saya pribadi juga tidak tau mengapa saya seperti ingin mengawasi orang tersebut, padahal ia tidak terbukti maling sandal, kenapa juga harus saya awasi? Ternyata ia seorang asongan, asongan yang terdiri dari yang di bungkus plastik yang ia jajakan di simpan di luar masjid dekat pintu belakang, tidak terlihat ada raut kekhawatiran kehilangan dagangannya tersebut selama ia menjalankan ibadah shalat jumat tadi, ia meraih asongannya dan berjalan keluar dari masjid, kemudian ia memasukan tangannya ke saku belakang celana yang ia gunakan, ia mengeluarkan uang lembaran dan memasukannya ke kotak amal masjid sambil mengucapkan syukron katsiron ala ni’matika ya Allah ya rohman ya rahim.

Saya tidak bermaksud mendikriminasi siapapun, tapi yang saya lihat pada saat itu, selama kotak amal berdiri di pintu keluar masjid hanya tukang asongan tadi yang memasukan selembar kertas uang untuk di sumbangkan demi keperluan masjid. Baru saja pak kiai Rifki Sulaiman mengingatkan bahwa dunia kerjaannya menipu mata kita, saya malah dengan sekian detik saja sudah lupa dengan nasehat beliau, tukang asongan yang saya pikir gembel nyasar ke masjid ternyata seorang yang memiliki daya juang jihad di jalan Allah dengan harta yang ia miliki di kantongnya, orang yang saya anggap tidak memiliki apa apa itu ternyata tidak pernah perhitungan dengan nikmat yang Allah berikan kepadanya, mungkin saja lembaran kertas yang berwarna merah itu hasil jerih payahnya dari pagi menjajakan asongannya di mobil, sedangkan saya manusia munafik yang yang menganggukan kepala di saat pak kiai menjelaskan khutbahnya tadi, sedangkan memiliki daya hitung yang luar biasa dengan nikmat Allah yang diberikan kepada saya

Baca Juga:  Bocah Angon

Mungkin ia sudah menguasai ilmu hidup, sampai ia dengan asiknya mengulurkan tangan ke kotak amal sambil berkata “terimakasih ya Allah atas segala nikmatMu,” tidak terlihat adanya kegundahan di wajahnya, tidak tampak kekhawatiran terhadap nanti ia bagaimana, sedangkan hasil jerih payahnya dari tadi pagi masuk begitu saja di kotak amal masjid. Apakah ia memang sudah mengetahui bahwa larangan Allah untuk takut tidak kebagian rezeki yang Allah hamparkan di muka bumi ini? padahal sahabat sahabat saya yang menjadi wakil rakyat saja, yang sudah di jamin sandang pangan dan papannya masih sempat sempatnya ngutil uang yang sebenarnya itu bukah hak mereka, kawan kawan saya yang bekerja di perusahan perusahaan besar yang upahnya sudah di sesuaikan dengan UMR masih terlihat lusuh mukanya karena menururtnya upah yang ia terima belum bisa mencukupi kebutuhannya sehari hari. Sedulur dulu saya yang menjadi pengusaha di bidang yang berbeda beda sering bermuka masam karena proyek yang ia ajukan ternyata sudah di jegal dengan pengusaha yang lain. Entah ilmu apa yang tukang asongan miliki sampai rasa kekhawatirannya terhadap hari esok tidak ada sama sekali, padahal hidupnya tidak ada yang menjamin atau sekedar di perhatikan saja oleh orang orang sekitarnya.

Terkadang saya mencurigai diri saya sendiri ketika saya sedang mencoba memberikan sedikit yang saya miliki terhadap orang lain, khususnya anak yatim dan fakir miskin, karena ketakutan saya di cap sebagai pendusta agama, yang katanya shalatnya saja disebut celaka untuk pendusta agama ini, kalau shalatnya saja sudah celaka apa lagi ngutilnya. Setiap saya memberikan ‘sedikit’ kepada mereka terbesit dipikiran saya Allah pasti akan menggandakan yang tadi saya berikan kepada mereka, karena janji Allah akan melipat gandakan apa yang kita sodaqohkan kepada orang lain, permasalahannya adalah apakah saya ini sedang berjihad di jalan Allah? Atau sedang berdagang dengan Allah? Berpura pura bersodaqoh padahal yang jadi tujuannya supaya untung. Modal sedikit dikitnya, untung sebanyak banyaknya, proyek yang sangat menjanjikan.

Memang tidak salah jika kita berpikir demikian,bahwa Allah menepati janjinya, barang siapa yang bersodaqoh maka Allah akan melipatgandakan apa yang kita keluarkan untuk orang lain. Wama angfaqtum min syain fahua yukhlifuhu wahua khairu rozikin hanya saja hemat saya sepertinya sedikit tidak sopan jika kita berdagang dengan Allah, padahal sahamNya terhadap kehidupan kita saja seratus persen Allah yang memiliki, rasanya tidak pantas kita menjalankan perintahNya dengan mengharapkan upah karena kita sudah merasa melaksanakan perintahNya. Seharusnya memberi ya memberi saja tanpa perlu ada embel embel akan di ganti berlipat lipat oleh Allah.

Baca Juga:  Cara Mudah Membuat Akuaponik di Dalam Ember

Mungkin saja karena kita memiliki daya hitung yang luar biasa, jadi perhitungan kita terhadap sesuatu hal yang tidak masuk di akal kita sampingkan, karena secara ilmiah kita di haruskan untuk bisa memanage apapun yang kita miliki sebagai aset yang berharga, sampai dibutuhkan ilmu khusus tentang metode memanage ini sedemikian rupa, agar mencapai tingkat ke akurasian yang tinggi dalam sebuah perhitungan yang kita lakukan. Tujuannya adalah untuk meminimalisir kemungkinan yang tidak kita inginkan. Ketenangan karena tidak kekurangan, serba berkecukupan, tidak gundah karena esok hari masih ada simpanan. Kalau kita keluarkan untuk sodaqoh sama sekali tidak menguntungkan. Karena perhitungan yang kita hitung hitung tersebut yang kemudian kita menjadi enggan dan merasa takut jika esok hari kita tidak berkecukupan. Menghitung atau hitung hitungan sepertinya tidak jauh berbeda dan hasilnya sama saja, jadi kalau pun mengeluarkan sesuatu untuk di sodaqohkan harus menguntungkan, dengan menagih janji Allah untuk mengembalikan berlipat lipat. Jika tidak dikembalikan maka sodaqoh tidak valid menurut ilmu managemen.

Terlapas dari konsep menghitung, berhitung atau hitung hitungan di atas, seandanya kita memiliki kesadar bahwa inna lillahi wainna ilaihi rajiun merupakan kepastian yang tidak bisa kita debat dengan ilmu apapun rasanya sudah bisa kita pahami bahwa apapun yang kita miliki ini pada dasarnya adalah miliknya Allah, dan akan dikembalikan kepada Allah, hanya saja merasa memiliki ini yang seolah olah kita berat hati untuk melepaskan sesuatu yang memang bukan milik kita. Mungkin inilah yang di maksud oleh Kiai Rifki Sulaiman, kenapa ia sering mengulang ulang tentang kehidupan yang dipenuhi dengan tipu daya ini disetiap khutbah jumatnya.

Entah siapa tukang asongan itu tapi yang jelas bagi saya ia adalah untuk menyadarkan saya tentang kesadaran bahwa tidak ada ketakutan dan kekhawatiran jika Allah di jadikan sebagai penjamin. Falahum ajruhum inda robihim wa la khaufun walahum yakhjanun ini juga janji Allah terhadap orang orang yang berbuat amal sholeh, perbuatan yang berdampak positif kepada orang sekitarnya, saya yakin masih banyak manusia manusia yang seperti mas tukang asongan diluar sana, yang tetap menjaga keyakinannya bahwa Allah lah yang ia jadikan penjamin kehidupannya, tidak merasa karena dengan ia berhitung akhirnya semua tentang kehidupannya akan tercukupi, bukan karena ada simpanan ia merasakan ketenangan, bukan karena serba tercukupi akhirnya ia mau mengeluarkan hartanya, dan bukan karena ada imbalan berlipat ia bersodaqoh. Baginya cukuplah Allah sebagai penjamin segala urusannya hasbunallah wani’mal wakil, ni’mal maula wa ni’mannashir

Narasumber: Ubaidillah