Beranda Opini

Vaksinasi Sebagai Game Changer Pemulihan Ekonomi dan Nasionalisme Vaksin

Vaksinasi Sebagai Game Changer Pemulihan Ekonomi dan Nasionalisme Vaksin
Ilustrasi (Foto: Gerd Altmann@Pixabay)

Pelitabanten.com – Bahwa ekonomi nasional sedang sakit akibat wabah Covid-19, semua orang tentu tahu. Bahkan sebagian besar dari kita juga turut merasakan dampak negatifnya. Dari segi kebijakan, selain berfokus pada kondisi sekarang, kita juga perlu mempersiapkan kebijakan setelah wabah ini mereda. Wakil Menteri Keuangan Pak Suahazil Nazara dalam penyampaian Pokok-pokok Kebijakan Fiskal dan Kerangka Ekonomi Makro dalam RAPBN tahun 2022 menyatakan bahwa terdapat tiga hal penting yang bisa menentukan hasil permainan (game changer) dalam strategi ekonomi nasional pasca Covid-19.

Tiga Game Changer

Yang pertama, intervensi kesehatan. Dalam hal ini adalah program untuk vaksinasi serta melaksanakan program pemeriksaan, penelusuran kontak, serta pelayanan untuk pasien Covid-19, atau yang dikenal dengan program 3T (testing, tracing dan treatment). Tujuannya untuk menyembuhkan pasien yang sudah terpapar dan sekaligus menjaga agar wabah tidak meluas. Strategi ini penting, karena jika virus tidak terkendali, pergerakan penduduk tidak akan leluasa, dan tentu ekonomi juga tidak akan tumbuh dan bergerak.

Yang kedua, peran APBN sebagai lokomotif untuk menghela ekonomi. Dalam kondisi ekonomi sekarang, aktor ekonomi lain yaitu investasi perusahaan swasta, konsumsi masyarakat, dan permintaan ekspor tidak cukup kuat untuk menggerakkan ekonomi. Dengan demikian, APBN mau tidak mau dipakai sebagai alat penggerak, dalam kebijakan yang sering disebut sebagai counter cyclical policy. Tentu kekuatan APBN dan kebijakan fiskal juga terbatas, sehingga perlu dipilih secara hati-hati. Kebijakan yang bersifat pemborosan atau dapat ditunda, tentu sebaiknya minggir lebih dahulu.

Yang ketiga, yaitu reformasi struktural. Reformasi struktural ini sebenarnya merupakan kebijakan yang dampaknya akan terasa dalam jangka panjang, tetapi perlu dilakukan saat ini untuk menyongsong momentum pemulihan ekonomi setelah Covid-19. Detail dari kebijakan ini masih perlu didiskusikan secara luas, agar kebijakan termasuk memberikan manfaat optimal.

Baca Juga:  Ketua DPRD Kota Tangerang Siap Jadi Wali Kota 2024, Asal?

Artikel ini akan lebih banyak menyoroti tentang topik yang pertama, yaitu vaksinasi, dikaitkan dengan kondisi di dunia internasional, khususnya tentang embargo vaksin atau nasionalisme vaksin. Dalam APBN 2021 disiapkan pendanaan untuk pengadaan vaksin dan pelaksanaan vaksinasi bagi 160 juta orang.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan, terdapat tujuh vaksin yang dapat digunakan untuk program vaksinasi di Indonesia. Ketujuh vaksin tersebut yaitu: PT Biofarma, AstraZeneca, Sinopharm, Moderna, Novavax, Pfizer- BioNtech, dan Sinovac. Dalam perkembangannya, jenis vaksin lain juga disebut akan dipergunakan di Indonesia. Beberapa negara merupakan produsen vaksin tersebut, misalnya Amerika Serikat, Inggris, Tiongkok, India, Korea Selatan, dan Thailand. Pengadaan vaksin tersebut mayoritas dilakukan secara bilateral (kesepakatan antara dua negara).

Selain pengadaan vaksin secara bilateral, Indonesia juga mendapatkan manfaat dalam kerjasama multilateral untuk penyediaan vaksin. Salah satunya adalah GAVI yang merupakan kerjasama antara negara sedang berkembang, negara maju sebagai donor, WHO, UNICEF, Bank Dunia, produsen vaksin, dan LSM misalnya Yayasan Bill dan Mellinda Gates.

Selanjutnya terkait dengan pendanaan, terdapat vaksin gotong royong yang akan dibayar oleh perusahaan dan bersifat gratis bagi pekerja dan keluarganya. Hal ini berbeda dengan program vaksinasi yang dibiayai oleh pemerintah. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan, harga vaksin tersebut ditetapkan sebesar Rp321.660 per dosis serta tarif pelayanan vaksinasi Rp117.970. Keduanya merupakan tarif maksimal tetapi belum termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Meskipun banyak kritik bahwa harga tersebut terlalu mahal, kemungkinan permintaan pasar pun banyak atas penyediaan vaksin secara bebas, mengingat larisnya rapid tes atau swab yang disediakan oleh swasta. Meskipun demikian, kita perlu mewaspadai kemungkinan diskriminasi vaksinasi. Bahwa ditengah penyediaan vaksin yang masih berebut antar negara, semoga vaksin gotong royong ini tidak mengurangi penyediaan vaksin yang bersifat gratis.

Baca Juga:  ESTAFET HIJRAH

Nasionalisme Vaksin

Strategi pertama dalam game changer, yaitu terkait dengan program vaksinasi mendapatkan tantangan dari faktor luar negeri. Bukan dari khabar perceraian Bill Gates dan Melinda Gates, tapi dari adanya embargo penjualan vaksin Covid-19. Dalam halal bihalal dan diskusi Indef School of Political Economy Business Intelligence Network (ISPE-BIN) secara online tanggal 22 Mei 2021, dimana penulis juga hadir sebagai anggota, dibahas tentang embargo vaksin ini.

Beberapa negara produsen vaksin Covid-19, membatasi penjualan vaksin keluar negeri untuk memprioritaskan kepentingan dalam negeri. Tindakan ini disebut sebagai nasionalisme vaksin, karena negara-negara produsen menumpuk cadangan untuk kepentingan sendiri sebelum diekspor ke negara lain. Sebagai contoh, Uni Eropa mengontrol ekspor vaksin. Demikian juga Amerika Serikat juga sementara menahan untuk ekspor.

India sebagai produsen vaksin yang penting juga mengalami peningkatan kasus Covid-19 sehingga India termasuk negara dengan kondisi terburuk. Kondisi tersebut termasuk ironis karena India merupakan produsen vaksin Covid-19 yang besar, tetapi ternyata tidak mampu memberikan cakupan vaksin yang luas bagi penduduknya. Kritik tersebut membuat India melarang ekspor vaksin produksinya untuk dijual ke luar negeri. Produk vaksin tersebut sementara akan dipakai untuk vaksinasi untuk kepentingan domestik. Embargo tersebut akan mengancam program vaksinasi negara-negara yang membeli vaksin dari India, khususnya negara-negara berkembang.

Baca Juga:  KEHARMONISAN DALAM PESANTREN

Menurut keterangan Menteri Kesehatan Budi Sadikin, nasionalisme vaksin mengancam kedatangan 100 juta vaksin ke Indonesia, yaitu 54 juta dosis dari kerjasama multilateral GAVI dan 50 juta dari kerjasama bilateral melalui Biofarma dan AstraZeneca.

Vaksin Nusantara dan Vaksin Merah Putih

Dengan adanya kejadian nasionalisme vaksin tersebut, menjadi penting bagi Indonesia untuk menggenjot kemampuan produksi vaksin domestik. Kejadian nasionalisme vaksin ini sekaligus menjadi peringatan, bahwa untuk pemenuhan barang dan jasa yang fundamental, kita tidak selalu dapat mengandalkan pada perdagangan internasional. Dampak yang harus ditanggung sangat mahal dalam kelangkaan vaksin ini, karena menyangkut kesehatan dan nyawa anak negeri.

Selain itu, dalam wabah Covid-19 ini kita juga menyadari bahwa sebenarnya komponen-komponen bangsa mempunyai kemampuan inovasi yang tinggi, sebagaimana tercermin dalam rencana vaksin nusantara dan vaksin Merah Putih. Menjadi keprihatinan kita semua, bahwa Indonesian Incorporated masih perlu dikembangkan. Masalah koordinasi dan kerjasama antar anak bangsa masih perlu dibenahi. Dalam hal riset ini, kita menunggu gerak dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). BRIN ini beberapa waktu lalu menjadi viral dan fokus perhatian masyarakat, meskipun sayangnya bukan dalam hal inovasi. Semoga bangsa kita secara bersama-sama, tidak ada yang tertinggal (no one left behind), berhasil keluar dari bencana Covid-19 ini.

Akhmad Solikin, SE, MA, PhD, CAPenulis: Akhmad Solikin, SE, MA, PhD, CA (Dosen Politeknik Keuangan Negara STAN)