
Pelitabanten.com – Daar el-Qolam, pondokku. Tak terasa sudah 50 tahun berkiprah untuk umat Islam dan bangsa Indonesia. Ini adalah warisan terbesar Kiai Haji Ahmad Rifa’i Arif. Kalau menanyakan soal sumbangsihnya ini, mungkin yang paling merasakan betul adalah warga Banten. Jangan lupa juga tanyakan kepada para alumni pendahulu, jangan kepada yang sekarang yang hanya mengenal sang pendiri pesantren lewat tulisan dan foto saja. Mereka mendengar dari orang kedua. Tak pernah tahu siapa Kiai Lilip itu sebenarnya. Tapi kalau yang cerita adalah santrinya, yang tak pernah punya hasrat berlebih, boleh juga kita percaya.
Saya bangga sekali pernah menuntut ilmu di pesantren ini. Berteman juga dengan salah satu putranya. Pernah mindik-mindik masuk ke rumah beliau karena diajak Encon, putra kelimanya. Saat itu, Kiai sedang berdakwah ke luar, hanya ada Bu Nyai di rumah. Senang benar pernah mencium punggung dan telapak tangan beliau yang wangi minyaknya lama sekali melekat sampai saya gosok-gosokkan ke baju. Senang dan ikhlas benar saat pintu kamar saya digedor berulang kali supaya saya segera bangkit dari kasur, memakai sarung dan mengambil wudhu. Sosok yang sangat tawadhu, terutama di hadapan wali santri.
Soal sikap tawadhu ini, saya mendengar langsung dari Almarhumah Emak saya. Saat baru mondok, emak saya pergi ke kediaman Pak Kiai yang letaknya berhadapan langsung depan Masjid As-Syifa, simbol kebanggaan kami para santri waktu itu. Ketika sampai di depan rumah, emak saya langsung bertanya kepada seorang lelaki yang tengah mengurus tanaman.
“Assalamu’alaikum, Pak,” sapa emak saya. “Waalaikumsalam, Bu,” kata lelaki paruh baya itu. “Saya mau bertemu Pak Kiai. Ada nggak Pak Kiai Rifa’i di rumah, Pak?” “Ada Bu,” sambut lelaki yang mengenakan topi dan kaos oblong. “Sebentar Bu. Silakan tunggu di depan. Saya panggilkan”. Sejurus kemudian, bukan main kagetnya emak saya. Ternyata lelaki yang mengurus kebun itu tak lain adalah Kiai Rifa sendiri, sang mudir pondok, lengkap dengan baju koko dan kopiah hitamnya. Emak saya hanya tertegun tak berani mengonfirmasi. Sementara Sang Kiai hanya tersenyum saja. Kata emak saya, begitulah adab kepada Kiai. Ya, saya manut saja. Tak mau bertanya lagi. Mereka pun ngobrol dan menitipkan saya di pesantren itu.
Usai lulus, saya mencoba mencerna pesan beliau agar bisa memanfaatkan ilmu yang dipunyai buat orang lain. Makanya ketika ada tawaran mengajar datang, saya langsung mengiyakan. Emak saya pasrah, ingin sekali saya berada di rumah setelah 6 tahun mesantren.
Kini, sebagai tanda pengabdian, saya selalu usahakan mengirim doa seusai salat, terutama saat malam Jumat.
Pak Kiai, terima kasih atas ilmu yang bermanfaat ini. Semoga warisan terbesar mu ini terus terjaga dan tetap pada khitah semula: mengabdi untuk umat Islam dan bangsa. Semoga putra dan putrimu mampu meneruskan perjuangan dan niat mulia ini. Amin. Lahu al-Fatihah
Penulis: Fachrurozi Majid, Alumni Pondok Pesantren Daar El Qolam, tahun 1998