Oleh: Eka Nurul Hayat
“Everybody is genius, but if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing that it is stupid” Albert Einstein
Saat saya berselancar ria melakukan window shopping di sebuah toko buku online, saya melihat sebuah buku dengan warna cover orange berilustrasi ikan di bagian bawahnya, buku itu adalah buku barunya Emha Ainun Najib atau Caknun yang berjudul “Kalau Kamu Ikan, Jangan Ikut Lomba Terbang” membaca judul tersebut saya langsung teringat pada quote Albert Einstein di atas yang banyak dikutip oleh para aktivis pendidikan beraliran humanistik, walaupun makna dari judul buku Caknun tersebut sedikit berbeda dengan quote Albert Einstein di atas namun memiliki benang merah yang sama. Jika kuote yang tertera dan menjadi judul bukunya Caknun itu memiliki makna kita harus menikmati apapun pekerjaan kita, profesi kita, perbuatan kita, perbuatan baik kita, sebab jika kita tidak bisa menikmati pekerjaan bahkan perbuatan baik kita sekalipun tentu hasilnya akan buruk.
Sedangkan quote Albert Einsten di atas kurang lebih memiliki makna bahwa setiap orang, setiap anak, adalah jenius, adalah special, dan dibekali dengan kecerdasan dan potensi yang berbeda-beda maka kita tidak bisa menilai mereka dengan seragam, tetapi harus sesuai dengan fitrah, minat dan potensi yang mereka miliki. Karena jika kita menilai mereka dengan cara yang seragam betapa banyak yang akan berpikir bahwa dirinya tidak berguna, bahwa dirinya adalah anak bodoh sepanjang hidupnya. sebagaimana halnya seekor ikan yang diminta untuk memanjat pohon, sampai kapanpun hal tersebut mustahil untuk dilakukan. Akan tetapi sayangnya, sistem pendidikan kita, terutama pendidikan dasar atau pendidikan wajib Sembilan tahun sampai saat ini masih belum beranjak dari pola yang seragam dan mengeneralisasi peserta didik terutama dalam hal penilaian. Dibandingkan membuat sebuah proyek atau karya, anak-anak kita di sekolah mengisi soal-soal sumatif dalam bentuk pilihan ganda saat Penilaian tengah semester ataupun saat Penilaian Akhir Semester. Itulah salah satu keseragaman penilaian pada system pendidikan dasar dan menengah di Negara kita.
Namun, beberapa waktu belakangan ini, sejak Kurikulum merdeka diluncurkan sebagai “produk” baru mentri yang saat ini sedang menjabat, paradigma keseragaman dalam sistem pendidikan kita baik dalam standar proses, standar penilaian, sudah mulai digeser ke arah yang lebih berpihak atau berpusat pada kebutuhan peserta didik salah satu diantaranya yaitu bernama pembelajaran berdiferensiasi.
Saya pertama kali mendengar istilah berdiferensiasi ini adalah dari guru Pamong di kelas virtual PPG Dalam Jabatan yang saya ikuti. Beliau meminta kami, para mahasiswa untuk menyusun RPP untuk PPL dengan menggunakan pendekatan berdiferensiasi. Beliau memang merupakan guru penggerak yang telah mendapat pembekalan tentang pembelajaran berdiferensiasi selama mengikuti pendidikan Guru Penggerak yang diselenggarakan oleh Kementrian Pendidikan selama enam bulan.
Lalu, ketika saya sedang mencari Diklat yang dilaksanakan secara daring saya menemukan sebuah flyer Diklat bertema “Pengembangan Pembelajaran Berdiferensiasi Berbasis Keragaman Karakter dan Kepribadian Peserta Didik” saya langsung mengikutinya untuk mendalami lebih jauh apa itu pembelajaran berdiferensiasi.
Maraknya Pelatihan dan pendidikan dengan tema serupa yang dilaksanakan baik daring ataupun tatap muka, mengindikasikan bahwa pendidikan kita sedang diarahkan pada pendidikan yang berorientasi pada siswa, pada kebutuhan dan kepentingan siswa, atau students centered. Untuk itulah pembelajaran berdiferensiasi ini digaungkan. Lalu apa itu pembelajaran berdiferensiasi? Bagaimana mengimplementasikannya di ruang kelas? Bagaimana mengintegrasikannya dalam RPP?
Berikut pemahaman yang saya rangkum selama mengikuti diklat juga dari berbagai sumber. Menurut Tomlinson (2001: 45), Pembelajaran Berdiferensiasi adalah usaha untuk menyesuaikan proses pembelajaran di kelas untuk memenuhi kebutuhan belajar individu setiap murid.
Namun demikian, pembelajaran berdiferensiasi bukanlah berarti bahwa guru harus mengajar dengan tiga puluh cara yang berbeda untuk mengajar tiga puluh orang murid. Bukan pula berarti bahwa guru harus memperbanyak jumlah soal untuk murid yang lebih cepat bekerja dibandingkan yang lain. Pembelajaran berdiferensiasi juga bukan berarti guru harus mengelompokkan yang pintar dengan yang pintar dan yang kurang dengan yang kurang. Bukan pula memberikan tugas yang berbeda untuk setiap anak.
Namun, pembelajaran berdiferensiasi adalah Pembelajaran yang berdasarkan pada pemenuhan kebutuhan belajar murid dan bagaimana guru merespon kebutuhan belajar tersebut. Dengan kata lain, guru perlu melakukan identifikasi kebutuhan belajar dengan lebih komprehensif, agar dapat merespon dengan lebih tepat terhadap kebutuhan belajar peserta didiknya.
Tomlinson (2001) dalam bukunya yang berjudul “How to Differentiate Instruction in Mixed Ability Classroom” menyampaikan bahwa kita dapat mengkategorikan kebutuhan belajar murid, paling tidak berdasarkan 3 aspek. Yaitu Kesiapan belajar (readiness) siswa , minat siswa , dan profil belajar siswa.
Kesiapan belajar (readiness) adalah kapasitas untuk mempelajari materi baru. Tomlinson (2001: 46) mengatakan bahwa merancang pembelajaran berdiferensiasi mirip dengan menggunakan tombol equalizer pada stereo atau pemutar CD. Untuk mendapatkan kombinasi suara terbaik biasanya kita akan menggeser-geser tombol equalizer tersebut terlebih dahulu. Saat kita mengajar, menyesuaikan “tombol” dengan tepat untuk berbagai kebutuhan murid akan menyamakan peluang mereka untuk mendapatkan materi, jenis kegiatan dan menghasilkan produk belajar yang tepat di kelas.
Sedangkan minat adalah suatu keadaan mental yang menghasilkan respons terarah kepada suatu situasi atau objek tertentu yang menyenangkan dan memberikan kepuasan diri. Tomlinson (2001: 53), mengatakan bahwa tujuan melakukan pembelajaran yang berbasis minat, diantaranya adalah sebagai berikut: 1) membantu murid menyadari bahwa ada kecocokan antara sekolah dan kecintaan mereka sendiri untuk belajar, 2)menggunakan keterampilan atau ide yang dikenal murid sebagai jembatan untuk mempelajari ide atau keterampilan yang kurang dikenal atau baru bagi mereka, dan, 3) meningkatkan motivasi murid untuk belajar.
Dengan kata lain minat siswa terhadap suatu objek mempengaruhi motivasi mereka untuk belajar, mencari tahu lebih dalam mengenai objek tersebut.
Sedangkan aspek ketiga yaitu profil belajar siswa berkaitan dengan latar belakang keluarga atau lingkungan dimana mereka tumbuh, juga preferensi gaya belajar apakah cenderung Visual atau auditori ataukah kinestetik juga perbedaan karakter atau kepribadian.
Untuk itu sebelum menyusun RPP ataupun masuk ke ruang kelas, guru diharapkan melakukan diagnostik atau observasi terarah mengenai kepribadian siswa, gaya belajar siswa, minat siswa juga kesiapan belajar siswa. Hal itu akan sangat berguna untuk membuat keputusan-keputusan terkait langkah-langkah pembelajaran dimulai dari proses perencanaanya, pelaksanaanya, sampai ke proses penilaian.
Dengan demikian melalui pembelajaran berdiferensiasi, guru lebih merdeka untuk menentukan langkah-langkah pembelajarannya, ia akan lebih memilih instrument penilaian apa yang cocok untuk penilaian tengah semester berdasarkan data kebutuhan belajar siswa yang telah didapat. Sedangkan siswa? Tentu saja , siswa juga akan lebih merdeka dalam berkreasi sesuai dengan minat, kepribadian dan gaya belajar mereka dalam mempelajari suatu pelajaran di sekolah. Dan saat tumbuh dewasa nanti, mereka tidak akan menjadi “ikan” yang ikut lomba terbang, karena mereka telah menemukan jati diri mereka melalui pendidikan dari guru-guru yang menghargai setiap perbedaan.
Penulis adalah Guru di SMKN 1 Sajira. Saat ini tinggal di Sajira di Kampung yang dikelilingi sungai mistis Ciberang.