Beranda Travel

Napak Tilas Sejarah Masjid Agung Banten

Makna Dibalik 24 Tiang Masjid Agung Banten
Masjid Agung Banten terletak di Kecamatan Kasemen, Banten Lama

SERANG, Pelitabanten.com – Bangunan bersejarah nan sakral di Provinsi Banten tertuju pada Masjid Agung Banten yang terletak di Kecamatan Kasemen, Banten Lama, tepatnya 10 km utara dari Kota Serang. Masjid Agung Banten dibangun pertama kali pada 1556 oleh Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570), sultan pertama dari Kesultanan Banten. Ia adalah putra pertama dari Sunan Gunung Jati

Masjid Agung Banten merupakan salah satu masjid tertua di Indonesia yang penuh dengan nilai sejarah. Setiap harinya masjid ini ramai dikunjungi para peziarah yang datang tidak hanya dari Banten dan Jawa Barat, tetapi juga dari berbagai daerah di Pulau Jawa. Masjid ini dikenali dari bentuk menaranya yang sangat mirip dengan bentuk sebuah bangunan mercusuar.

Bangunan Masjid Agung Banten berada di atas kompleks seluas 1,3 hektare yang dikelilingi pagar tembok setinggi satu meter. Pada sisi tembok timur dan masing-masing terdapat dua buah gapura di bagian utara dan selatan yang letaknya sejajar. Bangunan Masjid menghadap ke timur berdiri di atas pondasi masif dengan ketingggian satu meter dari halaman.

Baca Juga:  Pantai Tanjung Lesung, Pantai Perawan Di Ujung Banten

Bangunan ruang utama berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran 25 X 19 meter. Lantai terbuat dari ubin berukuran 30 X 30 centimeter berwarna hijau muda dan dibatasi dinding pada keempat sisinya. Dinding timur memisahkan ruang utama dengan serambi timur. Pada dinding ini terdapat empat pintu yang merupakan pintu masuk utama.

Di komplek masjid Agung Banten, ada menara dengan ketinggian 24 meter dengan lingkaran 20 meter, diameter bagian bawahnya kurang lebih 10 meter. Arsitek pembangunan masjid ini adalah Lucas Cardeel pada masa pemerintahan Sultan Haji (1672-1687). Di masa sultan Haji ini juga dibangun Tiamah atau bangunan segi empat yang berarsitektur Belanda di bagian selatan. Kabarnya, di bangunan Tiamah ini sering digunakan sebagai tempat musyawarah.

Untuk mencapai ujung menara, ada 83 buah anak tangga yang harus ditapaki dan melewati lorong yang hanya dapat dilewati oleh satu orang. Pemandangan di sekitar masjid dan perairan lepas pantai dapat terlihat di atas menara, karena jarak antara menara dengan laut yang hanya sekitar 1,5 km. Dahulu, selain digunakan sebagai tempat mengumandangkan adzan, menara juga digunakan sebagai tempat menyimpan senjata

Baca Juga:  Warga Tidak Melapor, Pemkab Lebak Tidak Punya Data TKI

Layaknya sebagai bangunan masjid kuno, ada kulah atau kolam yang biasa digunakan sebagai tempat berwudu di depan masjid. Berdasarkan catatan yang menempel di dinding, pernah dilakukan beberapa kali renovasi yaitu pada tahun 1969 oleh Bhakti Siliwangi Korem 64 Maulana Yusuf, pemugaran juga dilakukan pada tahun 1975 atas bantuan Pertamina yang waktu itu dipimpin Ibnu Sutowo, dan rehabilitasi atas bantuan masyarakat pada tahun 1991.

Keistimewaan masjid ini terletak pada arsitektur bangunannya yang unik, berupa perpaduan bangunan khas Jawa Hindu, China, dan Eropa. Sebab, masjid ini dirancang oleh tiga arsitektur berbeda, yaitu arsitek Majapahit bernama Raden Sepat. Raden Sepat merupakan arsitek berpengalaman yang juga berjasa membangun masjid agung Cirebon dan masjid Demak.

Di masjid ini juga terdapat kompleks pemakaman sultan-sultan Banten serta keluarganya. Yaitu makam Sultan Maulana Hasanuddin dan istrinya, Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Abu Nasir Abdul Qohhar. Sementara di sisi utara serambi selatan terdapat makam Sultan Mualana Muhammad dan Sultan Zainul Abidin, dan lainnya.

Baca Juga:  Kota Tangerang Punya Agrowisata Baru Loh ! Cek Lokasinya

Keunikan lainnya, berbagai bangunan inti serta pelengkapnya yang dirancang di dalam serta di luar masjid seperti ornamen pada pintu, jumlah dan tinggi pintu, serta jumlah tiang penyangga atap. Misalnya, 24 tiang penyangga atap dalam bangunan inti masjid merupakan simbol waktu dalam sehari.

Sedangkan setiap tiang yang berbentuk segi delapan menandakan tiga pembagian waktu dari 24 jam, yaitu untuk ibadah, untuk bekerja dan mencari penghidupan, serta untuk istirahat. Begitu pula dengan umpak batu andesit berbentuk labu ukuran besar yang terdapat pada tiap dasar tiang masjid dan pendopo digambarkan sebagai simbol pertanian untuk mengingatkan serta menunjukkan kemakmuran kesultanan Banten lama pada masanya.